Pelanggaran Hukum Positif Dalam Proses Nikah Siri
I.
PENDAHULUAN
Perkawinan
adalah suatu persetujuan antara seorang lelaki dan seorang perempuan di dalam
bidang hukum keluarga.[1]
Dewasa ini fenomena pernikahan siri / perkawinan siri bukan merupakan yang hal baru dan asing dibicarakan bagi masyarakat
kita saat ini. Perbincangan dan berbagai pendapat maupun opini sering kita
dengar di kalangan masyarakat baik kalangan mahasiswa, ulama, praktisi hukum,
dan masih beragam lainnya. Adanya perbedaan pendapat dan pandangan masyarakat
dan para ahli tentang keberadaan pernikahan siri. Melihat bukti dan fakta saat
ini tidak sedikit masyarakat Indonesia yang melakukan pernikahan siri. Bahkan
dari hari ke hari praktek pernikahan siri kian populer dikalangan masyarakat.
Berbagai alasan juga mendukung tentang praktek pernikahan siri dari alasan
tidak adanya persetujuan wali, biaya administrasi pernikahan yang mahal,
poligami, maupun karena perbedaan agama/keyakinan.
Dampak
positif maupun negatif juga menyertai praktek pernikahan siri diantaranya untuk
dampak postifinya meminimalisasi adanya perzinaan melalui seks bebas. Namun
disisi lain juga lebih banyak dampak negatifnya, terutama masalah hak dan
kewajiban wanita dan anak-anak.
II.
RUMUSAN
MASALAH
Atas
dasar latar belakang tulisan ini membahas tentang “pelanggaran hukum positif dalam
proses nikah siri”, maka dapat dirumuskan masalah-masalah tentang definisi
pernikahan siri? Bagaimana pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif (Undang –
Undang) tentang nikah siri ? Apakah pernikahan siri melanggar Hukum di
Indonesia?
III.
PEMBAHASAN
Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual
tetapi menurut arti majazi atau arti hukum ialah aqad atau perjanjian yang
menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria
dengan seorang wanita.[2]
Sedangkan kata “siri” dalam istilah nikah siri berasal dari Bahasa Arab, yaitu
“sirrun” juga berarti rahasia. Nikah siri bisa didefinisikan sebagai “bentuk
pernikahan yang dilakukan hanya berdasarkan aturan (hukum) agama dan atau adat
istiadat, tetapi tidak diumumkan kepada khalayak umum dan juga tidak dicatatkan
secara resmi pada kantor pegawai pencatat nikah.[3]
Dalam pasal 1 UU Pokok perkawinan No. 1 tahun 1974,
disebutkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia berdasarkan ketuhanan yang maha esa.[4]
Dapat disimpulkan bahwa nikah siri merupakan ikatan lahir batin antara seorang
laki-laki dan perempuan sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang
bahagia berdasarkan ketuhanan yang maha esa dan menjadikan halal hubungan
seksual sebagai suami istri yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi/
dirahasiakan yaitu dengan tidak mencatatkan perkawinan tersebut kepada dinas
catatan sipil yang ada.
Banyak penyebab atau faktor – faktor yang
menyebabkan terjadinya pernikahan siri, antara lain:
1. Nikah
tanpa wali. Nikah semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) karena wali pihak
perempuan mungkin tidak setuju.
2. Hanya
untuk memuaskan hasrat sex semata (kawin kontrak).
3. Tidak
mampu membiayai administrasi pencatatan.
4. Menikahi
anak dibawah umur.
5. Pernikahan
beda agama
6. Menganggap
bahwa pernikahan tidak perlu dicatatkan asal sudah memenuhi rukun dan syarat
pernikahan menurut Islam.
7. ada
juga disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai
negeri menikah lebih dari satu (poligami) tanpa seizin pengadilan.
Pernikahan siri mempunyai dampak positif dan
negatif, dampak – dampak tersebut antara lain:
1. Tidak
kejelasan status hukum istri dan anak didepan hukum.
2. Poligami
akan meningkat.
3. Istri
tidak dapat menuntut suami untuk memberikan nafkah baik lahir maupun batin.
4. Tanggung
jawab seorang ayah kepada anak tidak ada. Contohnya pengurusan akta lahir.
5. Dalam
hal perkawinan, anak-anak yang lahir dari pernikahan siri akan sulit untuk
menuntut hak dalam pewarisan. Karena tidak kejelasan statusnya.
6. Mengurangi
maraknya perzinaan dan sex bebas.
dari dampak –
dampak nikah siri diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa nikah siri lebih
banyak mempunyai dampak negatif terutama untuk anak dan istri.
Pernikahan
dalam hukum islam biasanya dikenal dengan istilah “Fiqh Pernikahan”. Kedudukan
dan keabsahan nikah siri dalam prespektif hukum islam, tidak lepas dari
pembahasan mengenai syarat dan rukun suatu pernikahan dalam islam. Syarat
merupakan segala sesuatu yang kepadanya menyangkut sah / tidaknya sesuatu hal
yang lain, tapi bukan merupakan bagian dari perbuatan itu. Adapun syarat-syarat
yang harus terpenuhi agar suatu perkawinan dikatakan sah sebagai berikut :
a).
Perkawinan yang akan dilakukan tidak bertentangan dengan larangan-larangan yang
disebutkan dalam ketentuan Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 221 (perbedaan agama)
dengan pengecualian khusus laki-laki Islam boleh menikahi wanita ahli kitab
(Yahudi dan Nasrani)[5]
b).
Adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan yang keduanya telah akil baligh
(dewasa dan berakal). Dewasa menurut Hukum Perkawinan Islamn akan berbeda
dengan menurut peraturan perundan - undangan di Indonesia.
c).
Adanya persetujuan bebas antara kedua calon pengantin, jadi tidak boleh
dipaksakan.
d).
Adanya wali nikah (untuk calon pengantin perempuan) yang memenuhi syarat yaitu;
laki-laki beragama Islam, dewasa, berakal sehat,dan berlaku adil.[6]
e).
Adanya dua orang saksi yang beragama Islam,dewasa, dan adil
f).Membayar
Mahar (mas kawin) calon suami kepada calon isteri berdasar QS. An-Nisa’ ayat
25.
g).
Adanya pernyataan Ijab dan Qabul (kehendak dan penerimaan)
Adapun
yang termasuk rukun perkawinan ialah sebagai berikut :
a).
Adanya pihak - pihak yang hendak melangsungkan perkawinan. Pihak-pihak yang
hendak melakukan perkawinan adalah mempelai laki-laki dan perempuan. Kedua
mempelai ini harus memenuhi syarat – syarat yang telah ditentukan agar
perkawinan yang dilaksanakan menjadi sah hukumnya. Beberapa syarat itu diantara
imam madzhab perbedaan baik madzhab syafi’i dan Maliki.[7]
b). Adanya wali atau perwalian.
Dalam
istilahfiqih disebut dengan penguasaan atau perlindungan, jadi arti perwalian
ialah penguasaan penuh oleh agama untuk seseorang guna melindungi barang atau
orang. Dengan demikian orang yang diberi kekuasaan disebut wali. Kedudukan wali
dalam perkawinan adalah rukun dalam artian wali harus ada terutama bagi
orang-orang yang belum mualaf, tanpa adanya wali status perkawinan dianggap
tidak sah.[8]
c). Adanya dua orang saksi
Dua
orang saksi dalam perkawinan merupakan rukun perkawinan oleh sebab itu tanpa
dua orang saksi perkawinan dianggap tidak sah. Keharusan adanya saksi dalam perkawinan
dimaksudkan sebagai kemaslahatan kedua belah pihak (antara
suami dan isteri)
d). Adanya sighat aqad nikah.
Sighat
aqad nikah adalah perkataan atau ucapan yang diucapkan oleh calon suami atau
calon isteri. Sighat aqad nikah ini terdiri dari “ijab” dan “qobul”. Ijab yaitu
pernyataan dari pihak calon isteri, yang biasanya dilakukan oleh wali pihak
calon istri yang maksudnya bersedia dinikahkan dengan calon suaminya. Qobul
yaitu pernyatan atau jawaban pihak
calon suami bahwa ia menerima
kesediaan calon isterinya menjadi isterinya.[9]
Selain rukun beserta syarat yang sudah diuraikan di atas, masih ada hal yang
dianurkan dipenuhi sebagai kesempurnaan perkawinan,
yaitu acara walimatul ursy (pesta perkawinan). Namun demikian acara walimahan
ini sifatnya hanya anjuran.
Salah
satu rukun pernikahan yang menjadi titik perdebatan tentang nikah siri adalah masalah
perwalian pentingnya posisi wali tidak bisa ditawar-tawar lagi hadits Nabi
menyebut “Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah Saw besabda ” Siapapun
wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil (HR. Empat Imam
Hadits,).“ Tidak sah sebuah pernikahan kecuali dengan wali (HR. Ahmad dan Imam
Empat) dan pada hadits yang berbunyi “Tidak sah pernikahan tanpa wali dan dua
saksi yang adil)” (HR. Ahmad). Namun ada pula beberapa ulama yang cenderung
membedakan mempelai perempuan tanpa menggunakan wali.
Sedangkan
terkait kedudukan nikah siri dalam perspektif hukum islam, pernikahan dalam
islam memiliki kedudukan yang mulia, karena tujuannya untuk mencari keridhaan
Allah Ta’ala dengan memperbanyak keturunan, menjaga kehormatan, dan sebagai
sarana untuk menyempurnakan agama seseorang. Oleh karena itu islam mengatur
dengan sebaik-baiknya masalah pernikahan dalam syariatnya, sehingga dapat
menghantarkan kepada tujuan yang sesungguhnya. Pernikahan yang sah secara hukum
islam adalah yang telah sempurna rukun-rukunnya dan terpenuhi syarat-syaratnya.
Setelah
diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) lalu
dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam pasal 2 UUP tersebut disebutkan: 1).
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu. 2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.[10]
Ketentuan
dari pasal 2 ayat (2) UUP tersebut selanjutnya diatur lebih lanjut dalam PP 9
Tahun 1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan
pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13. Pasal 10 PP tersebut
mengatur tatacara perkawinan;
(2)
"Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan
kepercayaannya".
(3)
"Dengan mengindahkan tatacara
perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan
dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang
saksi".
Untuk
mempertegas UUP dan PP diatas, diuraikan dalam KHI yaitu; Pasal 4 disebutkan;
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan
pasal 2 ayat (1)Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Rukun
perkawinan ádalah; calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, dan
ijab Kabul (Pasal 14 sampai Pasal 29). Calon mempelai pria wajib membayar mahar
kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh
kedua belah pihak (Pasal 30 sampai Pasal 38). Larangan Perkawinan karena
beberapa sebab (Pasal 39-44)
Jika
kita cermati seringkali dalam proses kawin siri sering kali melanggar hukum
positif (KUHPidana dan UU Pernikahan), antara lain:
a.
KUHPidana Pasal
530 ayat 1 yang bermakna; “Seorang pemuka agama yang melakukan upacara agama
tentang perkawinan yang hanya dapat dilakukan di muka pegawai pencatatan sipil,
jika pemuka agama itu belum mendapat pernyataan dari kedua belah pihak yang
kawin itu, bahwa mereka itu telah kawin dihadapan pegawai negeri tersebut
dipidana dengan pidanadenda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah”.[11]
b.
Dalam kawin siri
(beda agama) mereka menyiasati UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang Perkawinan;
(1)
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu”[12].
.
dengan
cara salah satu calon masuk ke agama pasangannya (pindah agama) lalu setelah
melakukan ijab qobul, pasangan tadi kembali lagi ke agama semula
c.
Pasal 279 ayat
(1) KUHP menjelaskan sebagai berikut:
Diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
1) Barang
siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau
perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
2) Barang
siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan
pihak lain menjadi penghalang untuk itu.[13]
IV.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dalam
pasal 1 UU Pokok perkawinan No. 1 tahun 1974, disebutkan bahwa perkawinan
merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Sedangkan kawin siri sendiri bertujuan
untuk menghindari perzinaan. Namun pada pelaksanaan dilapangan, kawin siri
banyak disalah gunakan untuk pemuas hasrat sex belaka, seperti untuk poligami,
menikahi gadis dibawah umur, serta memudahkan nikah beda agama. Lemahnya
penegakan hukum tentang nikah siri dan kecilnya hukuman serta denda bagi
pelanggarnya makin membuat maraknya pernikahan siri. Padahal dalam UU
Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan KUHPidana telah diatur untuk mencegah dan
mengurangi pernikahan siri yang tidak sesuai dengan semestinya lagi
2. Kritik
dan Saran
Penulis menyadari
bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan dikarenakan kurang tahunya penulis
tentang hukum – hukum yang berlaku di Indonesa dan karena kurangnya buku
referensi yang dimiliki oleh penulis. Dengan demikin penulis mengharapkan kritik
yang membangun kepada bapak dosen pengampu Bahasa Hukum.
DAFTAR
PUSTAKA
Afandi,
Ali, 1997, Hukum Waris, Hukum Keluarga
Hukum Pembuktian, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Ramulyo,
Moh. Idris, 2002, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta Bumi
Aksara.
Susanto,
Happy, Nikah Siri Apa Untungnya,
Visi Media, Jakarta Selatan.
Mawardi,
A.I. , 1984, Hukum Perkawinan Dalam Islam, BPFE, Yogyakarta.
Muqhniyah,
Muhammad, 1978, Pernikahan Menurut Hukum Perdata dari Lima Mazhab Ja’fari,
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, Kota Kembang, Yogyakarta
Sugandhi,
R., 1980, KUHPidana berikut penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[1] Ali Afandi. Hukum Waris,
Hukum Keluarga Hukum Pembuktian.
(PT. Rineka Cipta : Jakarta). 1997, hal 98
[2] Moh. Idris Ramulyo, Hukum
Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan
Kompilasi Hukum Islam (Jakarta : Bumi Aksara, 2002),hal.1
[3] Happy Susanto. Nikah Siri Apa
Untungnya. (Visi Media : Jakarta Selatan. 2007) hal. 22
[4] http://sdm.ugm.ac.id/main/sites/sdm.ugm.ac.id/arsip/peraturan/UU_1_1974.pdf diakses pukul 21.30 WIB tanggal
26 Desember 2012
[6]
A.I. Mawardi, Hukum
Perkawinan Dalam Islam ( Yogyakarta : BPFE, 1984), hal. 10
[7] Menurut Ulama Syafi’iyah, rukun
pernikahan ada lima, yaitu; 1). calon mempelai laki-laki, 2). Calon mempelai
perempuan, 3). Wali, 4). Dua orang saksi, 5). Sighat akad nikah. Seperti
ditulis Dalam, Abu Yahya Zakariya al-Anshori, Fathul Wahab, Darul Fikri, Juz 2
hal. 34.
[8]
Menurut Imam Malik rukum
pernikahan ada lima, diantaranya 1). Wali dari pihak perempuan, 2). Mahar
(maskawin), 3). Calon mempelai laki-laki, 4). Calon mempelai perempuan, 5).
Sighat akad nikah.. Seperti ditulis dalam; Abd, Rahman Ghazaly.Fiqh Munakahat.
( Jakarta: Prenada Media , 2003). Hal.
47-48.
[9] Muhammad Muqhniyah, Pernikahan
Menurut Hukum Perdata dari Lima Mazhab Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hambali (Yogyakarta : Kota Kembang, 1978), hal.7.
[10] Undang-Undang Perkawinan adalah
unifikasi yang unik, yang menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan
agama dan kepercayaan Yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Dikutip dari Hazairin,
Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor 1Tahun 1974 ( Jakarta : Tintamas, 1986),
hal. 1.
[11] R. Sugandhi, KUHPidana
berikut penjelasannya (Surabaya, Usaha Nasional, 1980) hal 536
[12] Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[13]
R. Sugandhi, KUHPidana
berikut penjelasannya (Surabaya, Usaha Nasional, 1980) hal 536