31 March 2014

Pelanggaran Hukum Positif Dalam Proses Nikah Siri

Pelanggaran Hukum Positif Dalam Proses Nikah Siri



I.            PENDAHULUAN
Perkawinan adalah suatu persetujuan antara seorang lelaki dan seorang perempuan di dalam bidang hukum keluarga.[1] Dewasa ini fenomena pernikahan siri / perkawinan siri bukan merupakan yang hal baru dan asing dibicarakan bagi masyarakat kita saat ini. Perbincangan dan berbagai pendapat maupun opini sering kita dengar di kalangan masyarakat baik kalangan mahasiswa, ulama, praktisi hukum, dan masih beragam lainnya. Adanya perbedaan pendapat dan pandangan masyarakat dan para ahli tentang keberadaan pernikahan siri. Melihat bukti dan fakta saat ini tidak sedikit masyarakat Indonesia yang melakukan pernikahan siri. Bahkan dari hari ke hari praktek pernikahan siri kian populer dikalangan masyarakat. Berbagai alasan juga mendukung tentang praktek pernikahan siri dari alasan tidak adanya persetujuan wali, biaya administrasi pernikahan yang mahal, poligami, maupun karena perbedaan agama/keyakinan.
Dampak positif maupun negatif juga menyertai praktek pernikahan siri diantaranya untuk dampak postifinya meminimalisasi adanya perzinaan melalui seks bebas. Namun disisi lain juga lebih banyak dampak negatifnya, terutama masalah hak dan kewajiban wanita dan anak-anak.
II.            RUMUSAN MASALAH
Atas dasar latar belakang tulisan ini membahas tentang “pelanggaran hukum positif dalam proses nikah siri”, maka dapat dirumuskan masalah-masalah tentang definisi pernikahan siri? Bagaimana pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif (Undang – Undang) tentang nikah siri ? Apakah pernikahan siri melanggar Hukum di Indonesia?
III.            PEMBAHASAN
Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi menurut arti majazi atau arti hukum ialah aqad atau perjanjian yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita.[2] Sedangkan kata “siri” dalam istilah nikah siri berasal dari Bahasa Arab, yaitu “sirrun” juga berarti rahasia. Nikah siri bisa didefinisikan sebagai “bentuk pernikahan yang dilakukan hanya berdasarkan aturan (hukum) agama dan atau adat istiadat, tetapi tidak diumumkan kepada khalayak umum dan juga tidak dicatatkan secara resmi pada kantor pegawai pencatat nikah.[3]
Dalam pasal 1 UU Pokok perkawinan No. 1 tahun 1974, disebutkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia berdasarkan ketuhanan yang maha esa.[4] Dapat disimpulkan bahwa nikah siri merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia berdasarkan ketuhanan yang maha esa dan menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi/ dirahasiakan yaitu dengan tidak mencatatkan perkawinan tersebut kepada dinas catatan sipil yang ada.
Banyak penyebab atau faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan siri, antara lain:
1.      Nikah tanpa wali. Nikah semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) karena wali pihak perempuan mungkin tidak setuju.
2.      Hanya untuk memuaskan hasrat sex semata (kawin kontrak).
3.      Tidak mampu membiayai administrasi pencatatan.
4.      Menikahi anak dibawah umur.
5.      Pernikahan beda agama
6.      Menganggap bahwa pernikahan tidak perlu dicatatkan asal sudah memenuhi rukun dan syarat pernikahan menurut Islam.
7.      ada juga disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri menikah lebih dari satu (poligami) tanpa seizin pengadilan.
Pernikahan siri mempunyai dampak positif dan negatif, dampak – dampak tersebut antara lain:
1.      Tidak kejelasan status hukum istri dan anak didepan hukum.
2.      Poligami akan meningkat.
3.      Istri tidak dapat menuntut suami untuk memberikan nafkah baik lahir maupun batin.
4.      Tanggung jawab seorang ayah kepada anak tidak ada. Contohnya pengurusan akta lahir.
5.      Dalam hal perkawinan, anak-anak yang lahir dari pernikahan siri akan sulit untuk menuntut hak dalam pewarisan. Karena tidak kejelasan statusnya.
6.      Mengurangi maraknya perzinaan dan sex bebas.
dari dampak – dampak nikah siri diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa nikah siri lebih banyak mempunyai dampak negatif terutama untuk anak dan istri.
Pernikahan dalam hukum islam biasanya dikenal dengan istilah “Fiqh Pernikahan”. Kedudukan dan keabsahan nikah siri dalam prespektif hukum islam, tidak lepas dari pembahasan mengenai syarat dan rukun suatu pernikahan dalam islam. Syarat merupakan segala sesuatu yang kepadanya menyangkut sah / tidaknya sesuatu hal yang lain, tapi bukan merupakan bagian dari perbuatan itu. Adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi agar suatu perkawinan dikatakan sah sebagai berikut :
a). Perkawinan yang akan dilakukan tidak bertentangan dengan larangan-larangan yang disebutkan dalam ketentuan Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 221 (perbedaan agama) dengan pengecualian khusus laki-laki Islam boleh menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani)[5]
b). Adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan yang keduanya telah akil baligh (dewasa dan berakal). Dewasa menurut Hukum Perkawinan Islamn akan berbeda dengan menurut peraturan perundan - undangan di Indonesia.
c). Adanya persetujuan bebas antara kedua calon pengantin, jadi tidak boleh dipaksakan.
d). Adanya wali nikah (untuk calon pengantin perempuan) yang memenuhi syarat yaitu; laki-laki beragama Islam, dewasa, berakal sehat,dan berlaku adil.[6]
e). Adanya dua orang saksi yang beragama Islam,dewasa, dan adil
f).Membayar Mahar (mas kawin) calon suami kepada calon isteri berdasar QS. An-Nisa’ ayat 25.
g). Adanya pernyataan Ijab dan Qabul (kehendak dan penerimaan)
Adapun yang termasuk rukun perkawinan ialah sebagai berikut :
a). Adanya pihak - pihak yang hendak melangsungkan perkawinan. Pihak-pihak yang hendak melakukan perkawinan adalah mempelai laki-laki dan perempuan. Kedua mempelai ini harus memenuhi syarat – syarat yang telah ditentukan agar perkawinan yang dilaksanakan menjadi sah hukumnya. Beberapa syarat itu diantara imam madzhab perbedaan baik madzhab syafi’i dan Maliki.[7]
b). Adanya wali atau perwalian.
Dalam istilahfiqih disebut dengan penguasaan atau perlindungan, jadi arti perwalian ialah penguasaan penuh oleh agama untuk seseorang guna melindungi barang atau orang. Dengan demikian orang yang diberi kekuasaan disebut wali. Kedudukan wali dalam perkawinan adalah rukun dalam artian wali harus ada terutama bagi orang-orang yang belum mualaf, tanpa adanya wali status perkawinan dianggap tidak sah.[8]
c). Adanya dua orang saksi
Dua orang saksi dalam perkawinan merupakan rukun perkawinan oleh sebab itu tanpa dua orang saksi perkawinan dianggap tidak sah. Keharusan adanya saksi dalam perkawinan dimaksudkan sebagai kemaslahatan kedua belah pihak (antara suami dan isteri)
d). Adanya sighat aqad nikah.
Sighat aqad nikah adalah perkataan atau ucapan yang diucapkan oleh calon suami atau calon isteri. Sighat aqad nikah ini terdiri dari “ijab” dan “qobul”. Ijab yaitu pernyataan dari pihak calon isteri, yang biasanya dilakukan oleh wali pihak calon istri yang maksudnya bersedia dinikahkan dengan calon suaminya. Qobul yaitu pernyatan atau jawaban pihak  calon  suami bahwa ia menerima kesediaan calon isterinya menjadi isterinya.[9] Selain rukun beserta syarat yang sudah diuraikan di atas, masih ada hal yang dianurkan dipenuhi sebagai  kesempurnaan perkawinan, yaitu acara walimatul ursy (pesta perkawinan). Namun demikian acara walimahan ini sifatnya hanya anjuran.
Salah satu rukun pernikahan yang menjadi titik perdebatan tentang nikah siri adalah masalah perwalian pentingnya posisi wali tidak bisa ditawar-tawar lagi hadits Nabi menyebut “Dari Aisyah ra. berkata bahwa Rasulullah Saw besabda ” Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil (HR. Empat Imam Hadits,).“ Tidak sah sebuah pernikahan kecuali dengan wali (HR. Ahmad dan Imam Empat) dan pada hadits yang berbunyi “Tidak sah pernikahan tanpa wali dan dua saksi yang adil)” (HR. Ahmad). Namun ada pula beberapa ulama yang cenderung membedakan mempelai perempuan tanpa menggunakan wali.
Sedangkan terkait kedudukan nikah siri dalam perspektif hukum islam, pernikahan dalam islam memiliki kedudukan yang mulia, karena tujuannya untuk mencari keridhaan Allah Ta’ala dengan memperbanyak keturunan, menjaga kehormatan, dan sebagai sarana untuk menyempurnakan agama seseorang. Oleh karena itu islam mengatur dengan sebaik-baiknya masalah pernikahan dalam syariatnya, sehingga dapat menghantarkan kepada tujuan yang sesungguhnya. Pernikahan yang sah secara hukum islam adalah yang telah sempurna rukun-rukunnya dan terpenuhi syarat-syaratnya.
Setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) lalu dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam pasal 2 UUP tersebut disebutkan: 1). Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. 2). Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[10]
Ketentuan dari pasal 2 ayat (2) UUP tersebut selanjutnya diatur lebih lanjut dalam PP 9 Tahun 1975. Pasal-pasal yang berkaitan dengan tatacara perkawinan dan pencatatannya, antara lain Pasal 10, 11, 12, dan 13. Pasal 10 PP tersebut mengatur tatacara perkawinan;
(2) "Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya".
(3) "Dengan  mengindahkan tatacara perkawinan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi".
Untuk mempertegas UUP dan PP diatas, diuraikan dalam KHI yaitu; Pasal 4 disebutkan; Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Rukun perkawinan ádalah; calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab Kabul (Pasal 14 sampai Pasal 29). Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak (Pasal 30 sampai Pasal 38). Larangan Perkawinan karena beberapa sebab (Pasal 39-44)
Jika kita cermati seringkali dalam proses kawin siri sering kali melanggar hukum positif (KUHPidana dan UU Pernikahan), antara lain:
a.       KUHPidana Pasal 530 ayat 1 yang bermakna; “Seorang pemuka agama yang melakukan upacara agama tentang perkawinan yang hanya dapat dilakukan di muka pegawai pencatatan sipil, jika pemuka agama itu belum mendapat pernyataan dari kedua belah pihak yang kawin itu, bahwa mereka itu telah kawin dihadapan pegawai negeri tersebut dipidana dengan pidanadenda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah”.[11]
b.      Dalam kawin siri (beda agama) mereka menyiasati UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 tentang Perkawinan;
(1) “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”[12]. .
dengan cara salah satu calon masuk ke agama pasangannya (pindah agama) lalu setelah melakukan ijab qobul, pasangan tadi kembali lagi ke agama semula
c.       Pasal 279 ayat (1) KUHP menjelaskan sebagai berikut:
Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun:
1)      Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu;
2)      Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain menjadi penghalang untuk itu.[13]
IV.            PENUTUP
1.      Kesimpulan
Dalam pasal 1 UU Pokok perkawinan No. 1 tahun 1974, disebutkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Sedangkan kawin siri sendiri bertujuan untuk menghindari perzinaan. Namun pada pelaksanaan dilapangan, kawin siri banyak disalah gunakan untuk pemuas hasrat sex belaka, seperti untuk poligami, menikahi gadis dibawah umur, serta memudahkan nikah beda agama. Lemahnya penegakan hukum tentang nikah siri dan kecilnya hukuman serta denda bagi pelanggarnya makin membuat maraknya pernikahan siri. Padahal dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan KUHPidana telah diatur untuk mencegah dan mengurangi pernikahan siri yang tidak sesuai dengan semestinya lagi
2.      Kritik dan Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan dikarenakan kurang tahunya penulis tentang hukum – hukum yang berlaku di Indonesa dan karena kurangnya buku referensi yang dimiliki oleh penulis. Dengan demikin penulis mengharapkan kritik yang membangun kepada bapak dosen pengampu Bahasa Hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Ali, 1997, Hukum Waris, Hukum Keluarga  Hukum Pembuktian, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Ramulyo, Moh. Idris, 2002, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta Bumi Aksara.
Susanto, Happy,  Nikah Siri Apa Untungnya, Visi Media, Jakarta Selatan.
Mawardi, A.I. , 1984, Hukum Perkawinan Dalam Islam, BPFE, Yogyakarta.
Muqhniyah, Muhammad, 1978, Pernikahan Menurut Hukum Perdata dari Lima Mazhab Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, Kota Kembang, Yogyakarta
Sugandhi, R., 1980, KUHPidana berikut penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


[1] Ali Afandi. Hukum Waris, Hukum Keluarga  Hukum Pembuktian. (PT. Rineka Cipta : Jakarta). 1997, hal 98
[2] Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam (Jakarta : Bumi Aksara, 2002),hal.1
[3] Happy Susanto. Nikah Siri Apa Untungnya. (Visi Media : Jakarta Selatan. 2007) hal. 22
[5] A.I. Mawardi, Hukum Perkawinan Dalam Islam ( Yogyakarta : BPFE, 1984), hal. 10.
[6] A.I. Mawardi, Hukum Perkawinan Dalam Islam ( Yogyakarta : BPFE, 1984), hal. 10
[7] Menurut Ulama Syafi’iyah, rukun pernikahan ada lima, yaitu; 1). calon mempelai laki-laki, 2). Calon mempelai perempuan, 3). Wali, 4). Dua orang saksi, 5). Sighat akad nikah. Seperti ditulis Dalam, Abu Yahya Zakariya al-Anshori, Fathul Wahab, Darul Fikri, Juz 2 hal. 34.
[8] Menurut Imam Malik rukum pernikahan ada lima, diantaranya 1). Wali dari pihak perempuan, 2). Mahar (maskawin), 3). Calon mempelai laki-laki, 4). Calon mempelai perempuan, 5). Sighat akad nikah.. Seperti ditulis dalam; Abd, Rahman Ghazaly.Fiqh Munakahat. ( Jakarta: Prenada  Media , 2003). Hal. 47-48.
[9] Muhammad Muqhniyah, Pernikahan Menurut Hukum Perdata dari Lima Mazhab Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali (Yogyakarta : Kota Kembang, 1978), hal.7.
[10] Undang-Undang Perkawinan adalah unifikasi yang unik, yang menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan Yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Dikutip dari Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor 1Tahun 1974 ( Jakarta : Tintamas, 1986), hal. 1.
[11] R. Sugandhi, KUHPidana berikut penjelasannya (Surabaya, Usaha Nasional, 1980) hal 536
[12] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
[13] R. Sugandhi, KUHPidana berikut penjelasannya (Surabaya, Usaha Nasional, 1980) hal 536