BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Pernikahan atau perkawinan merupakan sunnatullah
pada alam ini, tidak ada yang keluar dari garisnya, manusia, hewan maupun
tumbuhan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman "Dan segala sesuatu Kami
ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”. Allah
memilih sarana ini untuk berkembangbiaknya
mahluk dan berkesinambungannya ciptaan, setelah mempersiapkan setiap
pasangan pada semua makhluknya di dunia ini.
Allah menciptakan manusia seperti ciptaan yang
lainnya, tidak membiarkan nalurinya berbuat sekehendaknya, atau membiarkan
hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak beraturan. Tetapi Allah
meletakkan rambu-rambu dan aturan sebagaimana telah diterangkan oleh utusanNya,
Nabi Muhammad S.A.W.
Namun, Nikah mut'ah akhir-akhir ini mulai banyak
dilakukannya Nikah mut'ah oleh sebagian umat Islam di Indonesia. Praktik nikah
mut`ah tersebut telah masyarakat, dan umat Islam Indonesia pada umumnya
dikarenakan dipakai untuk kedok oleh sebagian orang untuk menghalalkan
perselingkuhan maupun pernikahan yang hanya mengejar nafsu belaka. Oleh karena
itu penulis akan mencoba hadits hukum nikah mut’ah.
B. RUMUSAN
MASALAH
ร Apa
yang dimaksud nikah mut’ah?
ร Bagaimana
hukum nikah mut’ah menurut hukum Islam dan hukum Indonesia?
ร Bagaimana
sejarah munculnya hadist larangan nikah mut’ah?
ร Bagaimana
penjelasan tentang hadis larangan nikah mut’ah?
C. TUJUAN
ร Mengetahui
pengertian nikah mut’ah
ร Mengetahui
hukum nikah mut’ah menurut hukum Islam dan hukum Indonesia?
ร Mengetahui
sejarah munculnya hadist tentang larangan nikah mut’ah
ร Mengetahui
penjelasan tentang hadis larangan nikah mut’ah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
HADIST UTAMA
Daripada Rabi’ bin Saburah daripada
ayahnya bahwa Rasulullah (S.A.W) bersabda: “Aku sebelum ini telah diberi
kebenaran untuk melakukan nikah mut’ah, namun sekarang Allah telah
megharamkannya hingga hari kiamat. Jadi, barang siapa yang mempunyai isteri
dengan cara nikah mut’ah, maka hendaklah dia melepaskannya dan janganlah kamu
mengambil maskawin yang telah kamu berikan kepadanya.” (Diriwayatkan oleh
Muslim, Abu Dawud, al-Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad dan Ibn Hibban: 1027).
B.
KATA KUNCI
Hadits di atas
menerangkan bahwa kaum muslimin bersama saudara-saudaranya yang lain dari
jama’ah para sahabat dengan tegas dan terang menyatakan bahwa nikah mut’ah
telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan pengharaman abadiyyah hingga
hari kiamat, yang sebelumnya pernah diperbolehkan, beliau pernah memberikan
keringanan kepada para sahabat untuk melakukan nikah mut’ah dengan dua
sebab yang dapat diterima pada waktu itu:
1. Dalam keadaan darurat, yaitu pada masa peperangan di waktu safar
2. Dalam waktu yang sangat singkat diantaranya selama 3 tiga hari.
Perlu dicermati bahwa
dalam ayat di atas menerangkan apa yang dipraktikkan kaum Muslim dari kalangan
sahabat-sabahat Nabi Muhammad SAW dan Rasulullah membimbing mereka akan apa
yang harus mereka lakukan dan kerjakan. Ayat di atas sebenarnya tidak sedang
menetapkan sebuah hukum baru, akan tetapi ia sedang membenarkan dan memberikan
bimbingan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam bermut’ah. Bukti lain
bahwa ayat di atas sedang menerangkan hukum nikah mut’ah ialah bahwa para ulama
Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat tersebut telah dimansukhkan oleh
beberapa ayat. Itu artinya mereka mengakui bahwa ayat di atas telah tegas
menerangkan hukum nikah Mut’ah.
C. ASBAB WURUD AL-HADIS
ุนَِู ุงุจِْู
ู
َุณْุนُْูุฏٍ َูุงَู: َُّููุง َูุบْุฒُْู ู
َุนَ ุฑَุณُِْูู ุงِููู ุต َْููุณَ ู
َุนََูุง ِูุณَุงุกٌ،
ََُْููููุง: ุงَูุงَ َูุฎْุชَุตِู؟ َََูููุงَูุง ุนَْู ุฐَِูู، ุซُู
َّ
ุนَْู
ู
ُุญَู
َّุฏِ ุจِْู َูุนْุจٍ ุนَِู ุงุจِْู ุนَุจَّุงุณٍ َูุงَู: ุงَِّูู
َุง َูุงَูุชِ ุงْูู
ُุชْุนَุฉُ
ِูู ุงََِّูู ุงْูุงِุณْูุงَู
ِ. َูุงَู ุงูุฑَّุฌُُู َْููุฏُู
ُ ุงْูุจَْูุฏَุฉَ َْููุณَ َُูู
ุจَِูุง ู
َุนْุฑَِูุฉٌ. ََููุชَุฒََّูุฌُ ุงْูู
َุฑْุฃَุฉَ ุจَِูุฏْุฑِ ู
َุง َูุฑَู ุงََُّูู ُِْูููู
ُ
َูุชَุญَْูุธُ َُูู ู
َุชَุงุนَُู، َู ุชُุตِْูุญُ َُูู ุดَุฃَُْูู ุญَุชَّู َูุฒََูุชْ ูุฐِِู
ุงْูุขَูุฉُ: ุงِูุงَّ ุนَูู ุงَุฒَْูุงุฌِِูู
ْ ุงَْู ู
َุง ู
َََููุชْ ุงَْูู
َุงُُููู
ْ. َูุงَู
ุงุจُْู ุนَุจَّุงุณٍ. َُُّููู َูุฑْุฌٍ ุณَِูู ُูู
َุง ุญَุฑَุงู
ٌ. ุงูุชุฑู
ุฐู
Dan dari
Muhammad bin Ka’ab dari Ibnu Abbas, ia berkata : Sebenarnya kawin mut’ah itu
hanya terjadi pada permulaan Islam, yaitu seseorang datang ke suatu negeri
dimana ia tidak memiliki pengetahuan tentang negeri itu, lalu ia mengawini
seorang wanita selama ia muqim (di tempat itu), lalu wanita itu memelihara
barangnya dan melayani urusannya sehingga turunlah ayat ini (Kecuali terhadap
istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki). (QS Al-Mukminuun : 6).
ุนَْู ุนٍَِّูู
ุฑุถ ุงََّู ุฑَุณَُْูู ุงِููู ุต ََููู ุนَْู َِููุงุญِ ุงْูู
ُุชْุนَุฉِ َู ุนَْู ُูุญُْูู
ِ
ุงْูุญُู
ُุฑِ ุงْูุงََِّْูููุฉِ ุฒَู
ََู ุฎَْูุจَุฑَ. ู ูู ุฑูุงูุฉ: ََููู ุนَْู ู
ُุชْุนَุฉِ
ุงِّููุณَุงุกِ َْููู
َ ุฎَْูุจَุฑَ َู ุนَْู ُูุญُْูู
ِ ุงْูุญُู
ُุฑِ ุงْูุงِْูุณَِّูุฉِ. ุงุญู
ุฏ ู
ุงูุจุฎุงุฑู ู ู
ุณูู
Dari Ali RA,
bahwasanya Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah dan daging himar jinak pada
waktu perang Khaibar. Dan dalam satu riwayat (dikatakan), “Rasulullah SAW
melarang kawin mut’ah pada masa perang Khaibar dan (melarang makan) daging
himar piaraan”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
ุนَْู
ุณَุจُุฑَุฉَ ุงْูุฌَُِِّููู ุงََُّูู ุบَุฒَุง ู
َุนَ ุงَّููุจِِّู ุต َูุชْุญَ ู
ََّูุฉَ، َูุงَู:
َูุงََูู
َْูุง ุจَِูุง ุฎَู
ْุณَุฉَ ุนَุดَุฑَ، َูุงَุฐَِู ََููุง ุฑَุณُُْูู ุงِููู ุต ِูู ู
ُุชْุนَุฉِ
ุงِّููุณَุงุกِ. َู ุฐََูุฑَ ุญَุฏِْูุซَ ุงَِูู ุงَْู َูุงَู: ََููู
ْ ุงَุฎْุฑُุฌْ ุญَุชَّู
ุญَุฑَّู
ََูุง ุฑَุณُُْูู ุงِููู ุต.ุงุญู
ุฏ ู ู
ุณูู
Dari Saburah
Al-Juhaniy, bahwa sesungguhnya ia pernah berperang bersama Rasulullah SAW dalam
menaklukkan Makkah. Saburah berkata, “Kemudian kami bermuqim di sana selama
lima belas hari, lalu Rasulullah SAW mengizinkan kami kawin mut’ah”. Dan ia
menyebutkan (kelanjutan) hadits itu. Selanjutnya Saburah berkata, "Maka
tidaklah kami keluar hingga Rasulullah SAW mengharamkannya”. [HR. Ahmad
dan Muslim]
ู ูู ุฑูุงูุฉ:
ุงَُِّูู َูุงَู ู
َุนَ ุงَّููุจِِّู ุต ََููุงَู: ูุงََُّููุง ุงَّููุงุณُ، ุงِِّูู ُْููุชُ
ุงَุฐِْูุชُ َُููู
ْ ِูู ุงْูุงِุณْุชِู
ْุชَุงุนِ ู
َِู ุงِّููุณَุงุกِ َู ุงَِّู ุงَููู َูุฏْ
ุญَุฑَّู
َ ุฐَِูู ุงَِูู َْููู
ِ ุงَِْูููุงู
َุฉِ، َูู
َْู َูุงَู ุนِْูุฏَُู ู
َُِّْููู ุดَْูุกٌ
َُْูููุฎِْู ุณَุจَُِْููู، َู ูุงَ ุชَุฃْุฎُุฐْْูุง ู
ِู
َّุง ุขุชَْูุชُู
َُُّْููู ุดَْูุฆًุง. ุงุญู
ุฏ
ู ู
ุณูู
Dan dalam
satu riwayat (dikatakan) : Bahwa sesungguhnya Saburah pernah bersama-sama Nabi
SAW, lalu beliau bersabda, “Hai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan
kamu kawin mut’ah, dan bahwasanya Allah benar-benar telah mengharamkan hal itu
sampai hari kiamat, maka barangsiapa yang masih ada suatu ikatan dengan
wanita-wanita itu hendaklah ia lepaskan dan janganlah kamu mengambil kembali
apa-apa yang telah kamu berikan kepada mereka itu sedikitpun”. [HR. Ahmad
dan Muslim]
َِููู ุฑَِูุงَูุฉٍ َُูู : (ูฃ/ูกูฃูค) : ุฃََّู ุฑَุณَُْูู ุงِููู
ุตّูู ุงููู ุนููู ู ุณّูู
ََููู ุนَِู ุงْูู
ُุชْุนَุฉِ ََููุงَู: ุงَูุงَ ุงَِْููุง ุญَุฑَุงู
ٌ
ู
ِْู َْููู
ُِูู
ْ َูุฐَุง ุงَِูู َْููู
ِ ุงَِْูููุงู
َุฉِ َูู
َْู ุฃَุนْุทَู ุดَْูุฆًุง َููุงَ
َูุฃْุฎُุฐُْู.
Dalam riwayat yang lain
(4/134), Sabroh menjelaskan sesungguhnya Rasulullah telah melarang nikah mut’ah
dan beliau bersabda: “Ketahuilah! Sesungguhnya nikah mut’ah itu haram mulai
(sejak) hari ini (yakni ketika fathu makkah)
sampai hari kiamat. Dan barangsiapa yang telah memberikan sesuatu (harta atau
mahar kepada perempuan-perempuan yang dinikah secara mut’ah) janganlah ia
mengambilnya lagi.”
ุนَْู
ุณََูู
َุฉَ ุจِْู ุงْูุงََْููุนِ َูุงَู: ุฑَุฎَّุตَ ََููุง ุฑَุณُُْูู ุงِููู ุต ِูู ู
ُุชْุนَุฉِ
ุงِّููุณَุงุกِ ุนَุงู
َ ุงَْูุทَุงุณٍ ุซَูุงَุซَุฉَ ุงََّูุงู
ٍ. ุซُู
َّ ََููู ุนََْููุง. ุงุญู
ุฏ ู ู
ุณูู
Dari Salamah
bin Akwa’, ia berkata, “Rasulullah SAW memberi keringanan (hukum) kepada kami
untuk kawin mut’ah pada tahun perang Authas selama tiga hari, kemudian ia
melarangnya”. [HR. Ahmad dan Muslim]
ู ูู ุฑูุงูุฉ
ุนูู: ุงََّู ุฑَุณَُْูู ุงِููู ุต ِูู ุญَุฌَّุฉِ ุงَْููุฏَุงุนِ ََููู ุนَْู َِููุงุญِ
ุงْูู
ُุชْุนَุฉِ. ุงุญู
ุฏ ู ุงุจู ุฏุงูุฏ
Dan dalam
riwayat lain dari Saburah (dikatakan), “Bahwasanya Rasulullah SAW pada waktu
haji Wada’ melarang kawin mut’ah”. [HR. Ahmad dan Abu Dawud].
D. MUNASABAH AL-HADIST
َِููู ุฑَِูุงَูุฉٍ َُูู: (ูค/ูกูฃูข) : ุฃََُّูู َูุงَู ู
َุนَ
ุฑَุณُِْูู ุงِููู ุตّูู ุงููู ุนููู ู ุณّูู
ََููุงَู: َูุขุงََُّููุง ุงَّููุงุณُ ุงِِّูู َูุฏْ
ُْููุชُ ุงَุฐِْูุชُ َُููู
ْ ِูู ุงْูุงِุณْุชِู
ْุชَุงุนٍ ู
َِู ุงِّููุณَุงุกِ َูุงَِّู ุงَููู َูุฏْ
ุญَุฑَّู
َ ุฐََِูู ุงَِูู َْููู
ِ ุงَِْูููุงู
َุฉِ, َูู
َْู َูุงَู ุนِْูุฏَُู ู
َُِّْููู
ุดَْูุกٌ َُْูููุฎَู ุณَุจَُِْููู َููุงَ ุชَุฃْุฎُุฐُْูุง ู
ِู
َّุง ุขุชَْูุชُู
َُُّْููู ุดَْูุฆًุง.
Dalam riwayat yang lain bagi
muslim (4/132); Sabroh menjelaskan larangan Nabi “Wahai manusia! Sesungguhnya
aku pernah mengizinkan kamu untuk nikah mut’ah, dan (sekarang) sesungguhnya
Allah telah mengharamkan nikah mut’ah tersebut sampai hari kiamat. Maka
barangsiapa yang masih mempunyai ikatan (mut’ah) dengan perempuan-perempuan
tersebut, hendaklah mereka lepaskan (putuskan ikatan perjanjian nikah mut’ah
tersebut), dan janganlah kamu mengambil kembali sedikitpun juga apa-apa yang
pernah kamu berikan kepada mereka (perempuan tersebut).”
َِููู ุฑَِูุงَูุฉٍ َُูู : (ูฃ/ูกูฃูค) : ุฃََّู ุฑَุณَُْูู ุงِููู
ุตّูู ุงููู ุนููู ู ุณّูู
ََููู ุนَِู ุงْูู
ُุชْุนَุฉِ ََููุงَู: ุงَูุงَ ุงَِْููุง ุญَุฑَุงู
ٌ
ู
ِْู َْููู
ُِูู
ْ َูุฐَุง ุงَِูู َْููู
ِ ุงَِْูููุงู
َุฉِ َูู
َْู ุฃَุนْุทَู ุดَْูุฆًุง َููุงَ
َูุฃْุฎُุฐُْู.
Dalam riwayat yang lain bagi
Muslim (4/134), Sabroh menjelaskan sesungguhnya Rasulullah telah
melarang nikah mut’ah dan beliau bersabda: “Ketahuilah! Sesungguhnya nikah mut’ah itu haram mulai (sejak) hari ini
(yakni ketika fathu makkah) sampai hari kiamat. Dan barangsiapa yang telah
memberikan sesuatu (harta atau mahar kepada perempuan-perempuan yang dinikah
secara mut’ah) janganlah ia mengambilnya lagi.”
E. SYARH AL-HADIST
“Dan
(diharamkan juga atas kalian untuk menikahi) perempuan-perempuan yang telah
bersuami, kecuali perempuan yang menjadi budak kalian. (Ini adalah) ketetapan
dari Allah atas kalian. Dan dihalalkan bagi kalian perempuan-perempuan selain
yang telah disebutkan tadi dengan memberikan harta kalian untuk menikahi mereka
dan tidak untuk berzina. Maka karena kalian menikmati mereka, berikanlah mahar
kepada mereka, dan hal itu adalah kewajiban kalian. Dan tidak mengapa apabila
kalian telah saling rela sesudah terjadinya kesepakatan. Sesungguhnya Allah itu
maha mengetahui dan maha bijaksana”. (QS:4;24)
Dalam penafsirkan surat
an-Nisa ayat 24 disebutkan Al-Khazin (salah seorang Mufasir Sunni) menjelaskan
difinisi nikah mut’ah sebagai berikut, “Dan menurut sebagian kaum (ulama) yang
dimaksud dengan hukum yang terkandung dalam ayat ini ialah nikah mut’ah yaitu
seorang pria menikahi seorang wanita sampai jangka waktu tertentu dengan
memberikan mahar sesuatu tertentu, dan jika waktunya telah habis maka wanita
itu terpisah dari pria itu dengan tanpa talaq (cerai), dan ia (wanita itu)
harus beristibrรข’ (menanti masa iddahnya selasai dengan memastikan kesuciaannya
dan tidak adanya janin dalam kandungannya), dan tidak ada hak waris antara
keduannya. Nikah ini boleh/halal di awal masa Islam kemudian diharamkan oleh
Rasulullah saw.” Dan nikah Mut’ah dalam pandangan para
pengikut Ahlulbait as. adalah seperti difinisi di atas.
Ayat di atas
mengatakan bahwa wanita-wanita yang telah kamu nikahi dengan nikah mut’ah dan
telah kamu gauli maka berikanlah kepada mereka itu mahar secara sempurna. Kata ุงุณْุชَู
ْุชَุนْุชُู
ْ berartikan nikah mut’ah yaitu nikah
berjangka waktu tertentu sesuai kesepakatan antara kedua pasangan calon suami
istri. Dan dipilihnya kata tersebut disebabkan nikah mut’ah memberikan
kesenangan, kenikmatan dan manfaat.
Ibnu Hajar
mendifinisikan nikah mut’ah, “Nikah mut’ah ialah menikahi wanita sampai waktu tertentu,
maka jika waktu itu habis terjadilah perpisahan, dan difahami dari kata-kata
Bukhari akhiran (pada akhirnya) bahwa ia sebelumnya mubaah, boleh dan
sesungguhnya larangan itu terjadi pada akhir urusan.”
Secara istilah, yang dimaksud nikah mut’ah
adalah, seseorang yang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu
tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya berupa harta, makanan, pakaian
atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka
berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada
seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat
kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih,
atau kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan
tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling
mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra` (yaitu satu kali haid bagi
wanita monopouse, dua kali haid bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari
bagi yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.
Ketika
nikah mut’ah tidak dikategorikan sebagai perbuatan zina, namun ulama ahli
sunnah tidak mengemukakan satu takrif yang jelas terhadap amalan pernikahan ini
selain sekadar menjelaskan yang intinya adalah seorang lelaki yang memakai
wanita untuk disetubuhi dalam waktu yang telah ditentukan dengan bayaran sesuai
dengan kesepakatan bersama antara Kitab Thaharah (Bersuci) mereka, sementara
wanita itu tidak berhak mendapatkan nafkah, malah
dia juga tidak wajib beriddah
kecuali sampai dia suci. Mazhab Imamiyah memberikan masa iddahnya hingga sampai
dua kali suci.
Oleh kerana
nikah mut’ah merupakan pelecehan terhadap kaum wanita kerana mereka dianggap
barang dagangan yang boleh diperjualbelikan, maka Islam mengharamkannya, meskipun
sewaktu itu diharamkan masih wujud keringanan yang membolehkannya lantaran ada
alasan-alasan yang jelas.
Al-Nawawi
berkata: “Pengharaman dan pembolehan nikah mut’ah terjadi sebanyak dua kali.
Pertama, nikah ini dibolehkan sebelum Perang Khaibar, kemudian diharamkan pada
waktu Perang Khaibar. Kedua, kemudian dibolehkan semula pada tahun penaklukkan
kota Makkah, kemudian diharamkan untuk selama-lamanya sampai hari kiamat.”
Dalam tafsirnya, Ibnu
Katsir mengatakan, “Imam Syafi’i dan sekelompok ulama berpendapat bahwa nikah
mut’ah dibolehkan kemudian dimansukhkan kemudian dibolehkan kemudian dimansukhkan,
dua kali.”
Dan
barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya
untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang
beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu;
sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka
dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut,
sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan
(pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila
mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan
yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi
wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi
orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di
antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. [an Nisa`: 25].
Dalam ayat ini ada dua alasan. Pertama, jika nikah
mut'ah diperbolehkan, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukannya bagi
orang yang kesulitan menjaga diri atau keperluan untuk menikahi budak atau bersabar
untuk tidak menikah. Kedua, ayat ini merupakan larangan terhadap nikah mut'ah,
karena Allah S.W.T berfirman "karena itu kawinilah mereka dengan seizin
tuan mereka". Sebagaimana diketahui, bahwa nikah seizin orang tua atau
wali, itulah sebenarnya nikah yang disyariatkan, yaitu dengan wali dan dua
orang saksi. Adapun nikah mut'ah, tidak mensyariatkan demikian.
Dan dampak negatif dari nikah mut’ah ini seperti
yang banyak didapati kasusnya adalah beredarnya penyakit kelamin semacam
spilis, raja singa dan sejenisnya di kalangan mereka yang menghalalkannya.
Karena pada hakikatnya nikah mu’tah itu memang zina.
F. NIKAH MUT’AH MENURUT HUKUM
INDONESIA
Menurut UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan nikah
mut’ah sangat bertentangan dan tidak sah menurut hukum di Indonesia, karena
dilihat dari tata cara dan tujuan perkawinan serta tujuan nikah mut’ah ini
bertentangan dengan aturan perundang-undangan tentang perkawinan Islam di
Indonesia.
Selain berlawanan dengan ajaran agama Islam, praktik nikah mut’ah juga
berlawanan dengan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Perkawinan dalam
UU tersebut bersifat abadi, sedang nikah mut’ah hanya bersifat sementara.
Dalam Pasal 1
undang-undang itu disebutkan:
“Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), tepatnya pada Pasal 2 dan 3 dijelaskan:
“Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan
yaitu akad yang sangat kuat “mitsaqan ghalidhan” untuk mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya merupakan ibadah.”
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah tersebut bertentangan
dengan banyak hal, di antaranya:
1.
Bertengan dengan dalil al-Qur’an
serta as-Sunnah.
2. Bertentangan
dengan ijma’ para ulama yang berpendapat tentang keharaman nikah mut’ah.
3. Bertentangan
dengan Pancasila, terutama Sila I, Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Sila II,
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
4. Bertentangan
dengan UUD 1945, Pasal 29 ayat (1).
5. Bertentangan
dengan UU No. 1/1974, tentang perkawinan, Pasal 1.
6. Bertentangan
dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang didinstruksikan oleH pemerintah untuk
dilaksanakan (instruksi No. 1 Th. 1991 tanggal 10 Juni 1991).
7. Dari segi
sosial dan moral, bertentangan dengan ajaran untuk menjaga kelangsungan
perkawinan serta kehormatan keluarga.
Berdasarkan hal di atas, sangat jelas apabila nikah
mut’ah bertentangan dengan hukum Islam maupun hukum di Indonesia. Oleh sebab
itu kita sebagai umat Islam seharusnya menghindari serta mencegah terjadinya
nikah mut’ah ini yang sering kali hanya bertujuan memuaskan nafsu belaka. Serta
pemerintah sebagai pelindung rakyat seharusnya mensosialisasikan bahwa nikah
mut’ah ini bertentangan dengan hukum di Indonesia serta memberi sanksi bagi
tegas bagi yang melanggarnya .
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Nikah mut’ah merupakan nikah mempunyai
dibatas waktu yang biasanya dilakukan untuk memenuhi hasrat nafsu. Nikah mut’ah hukumnya haram menurut
Al-Qur’an dan Hadist, walaupun sebelumnya pernah diperbolehkan Rasulullah, akan
tetapi dilarang hingga hari kiamat.Bila ditijau dari hukum positif Indonesia
pun, nikah mut’ah tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Tafsir Khazin (Lubab
al-Ta’wiil)
Subulus Salam, ash Shan'ani, Darul Kutub Ilmiyah
(3/243).
Tafsir Ibnu
Katsir.1,484, pada tafsir ayat 24 surah al-Nisaa’
Jami' Ahkamil Qur`an, al Qurthubi (5/130).
http://Nikah-Mut'ah-(Kawin
Kontrak)-almanhaj.or.id.htm
http://mkitasolo.blogspot.com/2011/12/tafsir-surat-nisa-4-ayat-24.html