21 March 2015

DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS TIONGHOA PADA ORDE BARU

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[1] Dari penjelasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa HAM merupakan Hak dasar dan pokok yang hakiki yang dimiliki semua manusia yang tidak dapat dikurangi karena merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. sehingga pemerintah wajib menjaga dan melindungi agar pelaksanaan HAM tersebut dapat terjamin dengan baik dan dalam pelaksanaannya tidak melanggar HAM orang lain. Salah satu contoh pelanggaran HAM adalah diskriminasi pada kaum minoritas.
Pada awalnya Etnis Tionghoa datang ke Indonesia pada zaman Hindia belanda untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja mengadu nasib sebagai pedagang, namun kemudian menetap di Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia. Pada masa Orde Baru, pemerintahan banyak membuat peraturan maupun kebijakan serta perlakuan yang mendiskriminasikan etnis Tionghoa di Indonesia serta pelanggaran HAM pada mereka saat terjadinya kerusuhan Mei 1998
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis sampaikan diatas, dapat diambil permasalahan yang akan dibahas makalah ini yaitu :
1. Apa saja pelanggaran HAM kepada etnis Tionghoa yang terjadi pada masa orde baru?
2. Bagaimana upaya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM kepada etnis Tionghoa ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pelanggaran HAM Kepada Etnis Tionghoa
Orde Baru dimulai dari lengsernya Soekarno akibat dari pemberontakan G 30 S/PKI. Pada Orde Baru yang di pimpin oleh rezim Soeharto ini banyak muncul pengkotak-kotakan dalam kehidupan bangsa Indonesia, misalnya perbedaan antara muslim dan non-muslim, militer dan sipil, pribumi dan non pribumi.
Di awal Orde Baru, Soeharto mengeluarkan peraturan menyangkut kewarganegaraan Indonesia yang sifatnya menekan etnis Tionghoa di Indonesia yaitu Kepres No 240 Tahun 1967, yang dilanjutkan dengan kebijakan-kebijakan baru yang lebih memojokkan etnis Tionghoa, salah satunya mengenai Pelembagaan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang diatur melalui Peraturan Mentri Kehakiman (Permenkeh) No. JB 3/4/12 Tahun 1978 yang sangat diskriminatif yang merupakan bentuk state sponsored racial discrimination.
Resim Orde Baru secara sistematis dan konsisten membatasi, menekan serta menghalangi etnis tionghoa mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia, diantaranya[2]:
1.      Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 tentang Prosedur Ganti Nama Bagi Warga Negara Indonesia yang Memakai Nama China Berdiam di Luar Negeri.
2.      TAP MPRS RI No. XXVII/MPRS/1966 tentang agama, Pendidikan dan Kebudayaan, yang melarang etnis Tionghoa pemeluk agama Tao beribadah di depan Umum, serta melarang adanya pendidikan dan huruf yang bercirikan kebudayaan China.
3.      Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967 tentang penggantian penyebutan etnis Tionghoa dengan China yang sebenarnya maksud edaran ini hanya ditujukan/dialamatkan pada orang Tionghoa Asing. Sedangkan untuk WNI keturunan Tionghoa, sebutan keturunan Tionghoa itu tetap dipertahankan, tidak diubah. Tapi karena tingginya sentimen masyarakat setelah peristiwa G30S/PKI, penggunakan istilah "Cina" dipakai untuk semua orang-orang tionghoa,  termasuk WNI keturunan Tionghoa.
Produk-produk hukum tersebut jelas menekan kehidupan sosial budaya etnis Tionghoa di Indonesia dan merupakan bentuk pelanggaran HAM oleh negara terhadap individu, khususnya hak budaya (cultural right) dan dapat diartikan sebagai cultural genocide.[3]
Pelanggaran Ham terhadap etnis Tionghoa tersebut mencapai puncak pada saat terjadi kerusuhan Mei tahun 1998 yang terjadi di banyak tempat untuk menuntut turunnya Soeharto. Menurut temuan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta)  yang dibentuk untuk mengemukan serta mengungkap fakta, pelaku serta latar belakang kerusuhan mei 1998. Menurut temuan dari TGPF, kerugian/korban kerusuhan tersebut dapat dikategorikan menjadi kerugian material, kerugian kehilangan pekerjaan, korban meninggal dunia dan luka-luka. Dari klasifikasi kerugian diatas, banyak korban tersebut adalah etnis Tionghoa. Pada kerusuhan tersebut banyak perempuan etnis tionghoa yang diperkosa beramai-ramai, dibunuh serta dijarah dan dibakar harta benda mereka seperti mobil, sepeda motor, serta toko dan bangunan mereka. Sedangkan ABRI sebagai pelindung serta penjaga keamanan terkesan membiarkan saja kejadian tersebut.
B.     Upaya penyelesaian kasus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa
Diskriminasi pada etnis Tionghoa zaman rezim Orde Baru yang dilakukan oleh pemerintah pada masa itu melalui kebijakan serta peraturan yang dikeluarkan bertentangan dengan beberapa pasal UUD 1945 antara lain[4]:
1.        Pasal 28B ayat 2 yang berisi “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
2.        Pasal 28D ayat 4 yang berisi “ Setiap orang berhak atas status kewarganegaraannya”.
3.        Pasal 28E pasal 1 yang berisi “ Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Selepas rezim Orde Baru, pemerintah berupaya penyelesaian pelanggaran HAM pada masa lalu dengan penerbitan beberapa Undang Undang, antara lain:
1.         Dikeluarkannya Kepres No. 50 Tahun 1993 atas rekomendasi Lokakarya I Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan oleh Departemen Luar Negeri RI dengan sponsor dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, berupa pembentukan Komnas HAM.
2.        UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan landasan yang kuat tentang keberadaan, tujuan, fungsi, keanggotan, asas, kelengkapan, serta tugas dan wewenang Komnas HAM. Hingga saat ini Komnas HAM berperan aktif untuk menyelidiki serta mengusut pelanggaran HAM pada masa Orde Baru, namun penyelidikan itu seperti tidak membuahkan hasil dikarenakan Komnas HAM tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM tersebut.
3.        UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM Ad-Hoc.  UU No. 26 ini berisi tentang pembentukan pengadilan HAM untuk kepentingan penyelesaian pelanggaran HAM. UU ini memiliki pasal yang mengatur tentang berlaku surut sehingga dapat mengusut pelanggaran HAM dimasa lalu.
4.        UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.  Komisi ini bertugas untuk untuk mengungkapkan pelanggaran HAM berat di masa lalu dan melaksanakan proses rekonsiliasi nasional demi keutuhan bangsa.
5.      UU No. 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis
Dengan adanya pembentukan Komnas HAM serta dikeluarkan beberapa Undang-Undang yang mengatur tentang HAM serta diskriminasi kasus-kasus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa pada masa orde Baru seharusnya dapat di selesaikan, namun kenyataannya kesimpangsiuran fakta penyelidikan serta penyelesaian penyelidikan kasus-kasus tersebut seperti hilang ditelan bumi tanpa ada pelaku yang dinyatakan bersalah, sehingga membuat masih banyaknya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang masih sering kita temui dimana-mana hingga saat ini.


BAB III
KESIMPULAN
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Diskriminasi terhadap suatu etnis tertentu bertentangan dengan UUD 1945 namun pada kenyataannya pada zaman rezim Soeharto diskriminasi serta perampasan hak-hak asasi terjadi pada etnis Tionghoa dikarenakan kebencian sebagian oknum pemerintah yang berkuasa serta masyarakat, padahal pemerintah seharusnya melindungi warganya. Hingga saat ini penyelidikan pelanggaran HAM pada masa Orde Baru tidak ada penyelesaiannya di pihak pemerintah, padahal banyak korban yang menuntut untuk segera diungkap.



Daftar Pustaka
Frans, Winarta., Suara Rakyat Hukum Tertinggi. Kompas. Jakarta, 2009
Suparman, marzuki., Tragedi Politik Hukum HAM. Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 2011
Fatwa, A.M., Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. Kompas. Jakarta, 2009
http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia.html, diakses pada tanggal 25 Mei 2013




[1] Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1
[2]Frans H. Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Jakarta : Kompas, Februari 2009, hal 185-186

[3] Yang dimaksud dengan cultural genocide menurut Geoffrey Robetson adalah: “by prohobiting in use of a group’s language, rewritting, or obliterating its history or destroying its icon” [Geoffrey Robetson QC. Crimes aAgain Humanity, The struggle for Global Justice (Australia: Penguin Books, 1993), hal. 229]
[4] A.M. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta : Kompas, 2009, Hlm. 153-154 

DINAMIKA KETATANEGARAAN DI INDONESIA 1945-1950


BAB I
PENDAHULUAN
A.      LATAR BELAKANG
Perkembangan ketatanegaraan dapat di bagi menjadi beberapa periode,sejak masa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang. Dalam beberapa periode tersebut, ketatanegaraan Indonesia mengalami pasang surut seiring dengan perjalanan waktu. Hal tersebut selain dikarenakan kemerdekaan kita yang mendadak sehingga masih kurangnya persiapan, juga akibat dari kembalinya belanda yang ingin menjajah dan menguasai Indonesia lagi.
Sebagai bentuk hukum dasar tertulis UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi di Indonesia, artinya segala peraturan yang ada dalam ketatanegaraan haruslah bersumber pada UUD 1945. Sehingga setiap peraturan yang tidak sesuai dengan UUD, maka peraturan terebut dihapuskan. Tetapi, ketatanegaraan Indonesia masih berubah-ubah seiring dengan perubahan konstitusi yang menjadi landasan operasional keberlangsungan berbangsa dan bernegara itu sendiri. Dalam perubahan tersebut indonesia mengalami beberapa fase penting dalam ketatanegaraan Indonesia yaitu pada masa UUD 1945 di awal kemerdekaan, UUD RIS dan UUDS.
B.       RUMUSAN MASALAH
1.    Kapan masa berlakunya UUD 1945?
2.    Kapan masa berlakunya Konstitusi RIS 1949?
3.    Kapan masa berlakunya UUDS 1950?


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Masa Berlakunya UUD 1945 (Agustus 1945 - Desember 1948)
Pada masa awal kemerdekaan, pembagian kekuasaan belum berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan belum terbentuknya lembaga-lembaga negara seperti yang di kehendaki UUD 1945. Mengingat keadaan pada masa awal kemerdekaan negara kita masih berada masa peralihan hukum pemerintahan, pelaksanaan ketatanegaraan seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 belum dapat sepenuhnya dilasanakan. Namun, penjelasan UUD 1945 telah mengantisipasi keadaan itu. Menurut Pasal IV Aturan peralihan, bahwa sebelum MPR, DPR , dan DPA di bentuk menurut UUD 1945, segala kekuasaan negara dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.
Pada awal kemerdekaan Indonesia dipimpin oleh Presiden dan wakil presiden, sejak tanggal 18 Agustus 1945 sampai 16 oktober 1945 segala kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif ) dijalankan oleh satu badan atau lembaga, yaitu presiden dibantu oleh KNIP. Sehingga pada masa itu dapat dikatakan belum adanya pembagian kekuasaan pembagian kekuasaan. Oleh karena belum terbentuknya MPR dan DPR, oleh karena itu wakil presiden mengeluarkan Maklumat Wapres No. X pada tanggal 16 Oktober 1945 yang berisi bahwa KNIP diserahi kekuasaan legislatif. Melaui maklumat ini telah terjadi pembagian kekuasaan, meskipun presiden masih memegang sebagian besar kekuasaan namun, kewenangan legislatif telah diberikan pada KNIP.
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP): 1945-1949 atau KNIP merupakan badan pembantu Presiden yang pembentukannya di dasarkan pada keputusan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus 1945. KNIP merupakan pengembangan dari Komite Nasional Indonesia( KNI) dilantik oleh Presiden Soekarno pada tanggal 29 Agustus 1945 yang beranggotakan 137 orang (terdiri dari tokoh masyarakat dan anggota PPKI). KNIP yang semula berfungsi sebagai pembantu presiden, kemudian berubah melaksanakan tugas legislatif berdasarkan Maklumat Wapres No. X yang berbunyi :
“Bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis Besar Haluan Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan KNI Pusat sehari-hari, berhubungan dengan gentingnya keadaan, dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan yang bertanggung jawab kepada KNIP. Sejak proklamasi kemerdekaan sampai pulihnya kembali NKRI tanggal 17 Agustus 1950, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia dan Komite Nasional sendiri telah menyetujui 133 Rancangan Undang-undang, diantaranya yang terpenting adalah Undang-Undang No.11 tahun 1949 tentang pengesahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat.

B.       Periode Konstitusi Republik Indonesia Serikat ( RIS ) 1949
Akibat dari Belanda berusaha memecah belah bangsa Indonesia dengan cara membentuk negaranegara ”boneka” seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, dan Negara Jawa Timur di dalam negara RepubIik Indonesia. Bahkan, kemudian Belanda melakukan agresi Militer I pada tahun 1947 dan Agresi Militer II atas kota Yogyakarta pada tahun 1948. Dan untuk menyelesaikan pertikaian Belanda dengan RepubIik Indonesia, Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) turun tangan dengan menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (Belanda) tanggal 23 Agustus – 2 November 1949. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari RepubIik Indonesia, BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg, yaitu gabungan negara-negara boneka yang dibentuk Belanda), dan Belanda serta sebuah komisi PBB untuk Indonesia.KMB tersebut menghasilkan tiga buah persetujuan pokok yaitu:
1.Didirikannya Negara Rebublik Indonesia Serikat
2.Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat
3.Didirikan uni antara RIS dengan Kerajaan Belanda.,
Sehingga wilayah negara Indonesia menyusut menjadi Pulau Jawa dan Sumatra saja, seta Ibukota berpindah ke Jogjakarta, dan Indonesia masuk sebagai salah satu negara boneka belanda sehingga Republik Indonesia berganti menjadi Republik Indonesia Serikat.
Dengan perubahan tersebut maka sumber hukum kita yang tadinya UUD 1945 berubah atau berganti menjadi UUD RIS dan sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan parlementer. Pada sistem ini, Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen ( Dewan Perwakilan Rakyat ), dan apabila pertanggungjawaban itu tidak diterima oleh Dewan Perwakilam Rakyat maka dapat menyababkan bubarnya kabinet. Jadi, kedudukan kabinet bergantung kepada DPR.
Sistem pemerintahan parlementer mempunyai ciri-ciri pokok berikut ini:
a.       Perdana menteri bersama para menteri baik secara bersama ataupun sendiri-sendiri bertangggung jawab kepada parlemen.
b.      Pembentukan kabinet didasarkan pada kekuatan-kekuatan yang ada dalam parlemen.
c.       Para anggota kabinet mungkin seluruhnya atau sebagian mencerminkan kekuatan yang ada dalam parlemen.
d.      Kabinet dapat dijatuhkan setiap saat oleh parlemen dan sebaliknya kepala negara dengan saran perdana menteri dapat memubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum.
e.       Lamanya masa jabatan kabinet tidak dapat di tentukan dengan pasti.
f.       Kedudukan kepala negara tidak dapat diganggu gugat atau di minta pertanggungjawaban atas jalannya pemerintahan.
Dengan demikian, yang membedakan sistem pemerintahan presidensial dengan parlementer adalah sebagai berikut:
a.       Sistem pemerintahan presindensial yang menjadi kepala negara adalah presiden, sedangkan dalam pemerintahan parlementer yang menjadi kepada negara adalah  presiden atau  raja.
b.      Sistem pemerintahan parlementer, pemerintah bertanggung jawab dan berada di bawah pengawasan parlemen,sedangkan dalam sistem pemerintahan presindensial pemerintah tidak bertnggung jawab kepada parlemen / DPR.
Sejarah sistem pemerintahan parlementer di Indonesia telah dimulai sejak periode berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama. Tepatnya sejak dikeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Akibatnya, kekuasaan pemerintahan bergeser dari tangan presiden kepada menteri. Menurut Konstitusi RIS, kekuasaan pembentukan perundang-undangan dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan senat terhadap undang-undang yang isinya melibatkan beberapa negara/daerah bagian atau antara pemerintah dengan negara/daerah bagian. Untuk undang-undang yang isinya di luar itu, cukup dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR.
Oleh sebab itu, agar suatu undang-undang mempunyai kekuatan mengikat maka harus disetujui oleh DPR dan senat serta disahkan oleh pemerintah. Dalam hal pengesahan ini suatu undang-undang selain ditandatangani oleh presiden juga ditandatangani oleh menteri yang bertanggung jawab terhadap materi undang-undang tersebut. Dengan demikian, pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan senat dalam melaksanakan kekuasaan legislatif harus bekerja sama, Demikian pula pemerintah, dalam melaksanakan kekuasaan pemerintahan harus benar-benar memperhatikan suara Dewan Perwakilan Rakyat.
Mahkamah Agung  berfungsi sebagai penilai masalah penerapan atau pelanggaran hukum dan peradilan tingkat kasasi. Kedudukan Mahkamah Agung sebagai pengadilan federasi tinggi yang berwenang melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan-perbuatan, baik pengadilan federal maupun pengadilan negara/daerah bagian. Di samping itu, Mahkamah Agung berhak memberi nasihat kepada presiden yang berkenaan dengan pemberian grasi atau hukuman yang telah dijatuhkan oleh pengadilan.


C.      MASA BERLAKUNYA UUDS 1950
Negara Federal Republik Indonesia serikat ternyata tidak sesuai dengan cita-cita perjuangan rakyat Indonesia, sehingga Pada 19 Mei 1950, dicapai kesepakatan untuk membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dituangkan dalam sebuah piagam persetujuan.[1] Disebutkan pula bahwa Negara Kesatuan itu akan berdasarkan undang-undang dasar baru yang merupakan gabungan unsur-unsur UUD 1945 dengan Konstitusi RIS yang menghasilkan UUDS 1950. Negara Kesatuan RI secara resmi berdiri pada tanggal 17 Agustus 1950 dan Ir. Soekarno terpilih sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Sejak saat itu pula pemerintah menjalankan pemerintahan dengan menggunakan UUDS 1950.
Prinsip-prinsip Sistem Ketatanegaraan yang tercantum dalam UUDS 1950 negara kesatuan antara lain :
1.    Penghapusan senat
2.    DPR Sementara terdiri atas gabungan DPR RIS dan  Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
3.    DPRS bersama-sama dengan Komite Nasional Pusat disebut Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar dengan hak mengadakan perubahan dalam UUD baru dan
4.    Konstituante terdiri dari anggota-anggota yang dipilih melalui Pemilu.
Lembaga-lembaga negara yang ada pada masa berlakunya UUDS yaitu pada periode 17 Agustus 1950- 5 Juli 1959 menurut UUDS pasal 44 lembaga negara yang ada yaitu:
a.    Presiden dan Wakil Presiden
b.    Menteri-menteri
c.    Dewan Perwakilan Rakyat
d.   Mahkamah Agung
e.    Dewan Pengawas Keuangan.
Berdasarkan Pasal 51 UUDS, Presiden menunjuk seorang atau beberapa orang pembentuk kabinet setelah itu sesuai dengan anjuran pembentuk kabinet presiden mengangkat seorang menjadi perdana mentri dan mengangkat menteri-menteri yang lain. Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.
Sebagai kepala negara berdasarkan pasal 84 presiden berhak untuk membubarkan DPR.”Kekuasaan legislatif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat”.
Dalam wewenangnya DPR berhak untuk mengajukan usul Undang-undang kepada pemerintah dan berhak mengadakan perubahan-perubahan dalam usul Undang-undang yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR. Apabila akan mengusulkan Undang-undang maka mengirimkan usul itu untuk disahkan oleh pemerintah kepada presiden.
Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan. Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi sebagai lembaga yudikatif atau pengawas dari pelaksanaan UUDS, pengangkatan Mahkamah Agung adalah untuk seumur hidup. Mahkamah Agung dapat dipecat atau diberhentikan menurut cara dan ditentukan oleh undang-undang (Pasal 79 Ayat 3 UUDS 1950), selain itu diatur pada pasal yang sama ayat berbeda yaitu ayat 4 disebutkan bahwa ” Mahkamah Agung dapat diberhentikan oleh Presiden atas permintaan sendiri”. Selain sebagai pengawas atas perbuatan pengadilan-pengadilan yang lain, Mahkamah Agung juga memberi nasehat kepada Presiden dalam pemutusan pemberian hak grasi oleh presiden. Pengangkatan anggota DPK seumur hidup, undang-undang menetapakan ketua, wakil ketua dan anggotanya dapat diberhentikan apabila mencapai usia tertentu. DPK dapat diberhentikan oleh presiden atas permintaan sendiri.[2]


BAB III
KESIMPULAN
Pada awal kemerdekaan, sistem ketatanegaraan Indonesia sering kali terjadi perubahan serta belum sesuai dengan apa yang diamanatkan oleh UUD 1945. Pada periode ini tongkat kekuasaan didominasi Presiden. Hal ini dikarenakan belum terbentuknya badan pemerintahan pendukung lainnya, karena pada masa itu Indonesia sedang berperang melawan Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali sehingga rakyat Indonesia lebih berfokus pada perjuangan tersebut. Pada awal Berlakunya UUD (1945-1948) kekuasaan dipegang sepenuhnya oleh Presiden yang dibantu KNIP. Baru setelah Wakil Presiden mengeluarkan Maklumat Wapres No. X, KNIP diserahi kekuasaan legislatif.
Pada saat perubahan bentuk negara dari NKRI menjadi RIS, UUD mengalami pergantian menjadi UUD RIS serta sistem pemerintahan berubah dari presidensiil menjadi parlementer. Namun rakyat menilai RIS tidak sesuai dengan cita-cita bangsa sehingga RIS berubah kembali menjadi NKRI dan dalam masa peralihan tersebut UUD RIS digantikan dengan UUDS.



DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam.2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Huda, Ni’matul. 2013. Hukum Tata negara indonesia edisi revisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mahfud MD, Moh. 1993. Dasar dan struktur Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: UII Press.
Syafiie, Inu Kencana.1997. Ilmu Politik. Jakarta: Rineka Cipta



[1] Dr. Moh Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (UII press, Yogyakarta:1993), hlm 109

TAKHRIJ HADIS NIKAH MUT’AH

BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Pernikahan atau perkawinan merupakan sunnatullah pada alam ini, tidak ada yang keluar dari garisnya, manusia, hewan maupun tumbuhan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”. Allah memilih sarana ini untuk berkembangbiaknya  mahluk dan berkesinambungannya ciptaan, setelah mempersiapkan setiap pasangan pada semua makhluknya di dunia ini.
Allah menciptakan manusia seperti ciptaan yang lainnya, tidak membiarkan nalurinya berbuat sekehendaknya, atau membiarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak beraturan. Tetapi Allah meletakkan rambu-rambu dan aturan sebagaimana telah diterangkan oleh utusanNya, Nabi Muhammad S.A.W.
Namun, Nikah mut'ah akhir-akhir ini mulai banyak dilakukannya Nikah mut'ah oleh sebagian umat Islam di Indonesia. Praktik nikah mut`ah tersebut telah masyarakat, dan umat Islam Indonesia pada umumnya dikarenakan dipakai untuk kedok oleh sebagian orang untuk menghalalkan perselingkuhan maupun pernikahan yang hanya mengejar nafsu belaka. Oleh karena itu penulis akan mencoba hadits hukum nikah mut’ah.
B.     RUMUSAN MASALAH
Ø  Apa yang dimaksud nikah mut’ah?
Ø  Bagaimana hukum nikah mut’ah menurut hukum Islam dan hukum Indonesia?
Ø  Bagaimana sejarah munculnya hadist larangan nikah mut’ah?
Ø  Bagaimana penjelasan tentang hadis larangan nikah mut’ah?

C.     TUJUAN
Ø  Mengetahui pengertian nikah mut’ah
Ø  Mengetahui hukum nikah mut’ah menurut hukum Islam dan hukum Indonesia?
Ø  Mengetahui sejarah munculnya hadist tentang larangan nikah mut’ah
Ø  Mengetahui penjelasan tentang hadis larangan nikah mut’ah



BAB II
PEMBAHASAN
A.    HADIST UTAMA
Daripada Rabi’ bin Saburah daripada ayahnya bahwa Rasulullah (S.A.W) bersabda: “Aku sebelum ini telah diberi kebenaran untuk melakukan nikah mut’ah, namun sekarang Allah telah megharamkannya hingga hari kiamat. Jadi, barang siapa yang mempunyai isteri dengan cara nikah mut’ah, maka hendaklah dia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil maskawin yang telah kamu berikan kepadanya.” (Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, al-Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad dan Ibn Hibban: 1027).

B.     KATA KUNCI
Hadits di atas menerangkan bahwa kaum muslimin bersama saudara-saudaranya yang lain dari jama’ah para sahabat dengan tegas dan terang menyatakan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan pengharaman abadiyyah hingga hari kiamat, yang sebelumnya pernah diperbolehkan, beliau pernah memberikan keringanan kepada para sahabat untuk melakukan nikah mut’ah dengan dua sebab yang dapat diterima pada waktu itu:
1.      Dalam keadaan darurat, yaitu pada masa peperangan di waktu safar
2.      Dalam waktu yang sangat singkat diantaranya selama 3 tiga hari.
Perlu dicermati bahwa dalam ayat di atas menerangkan apa yang dipraktikkan kaum Muslim dari kalangan sahabat-sabahat Nabi Muhammad SAW dan Rasulullah membimbing mereka akan apa yang harus mereka lakukan dan kerjakan. Ayat di atas sebenarnya tidak sedang menetapkan sebuah hukum baru, akan tetapi ia sedang membenarkan dan memberikan bimbingan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam bermut’ah. Bukti lain bahwa ayat di atas sedang menerangkan hukum nikah mut’ah ialah bahwa para ulama Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat tersebut telah dimansukhkan oleh beberapa ayat. Itu artinya mereka mengakui bahwa ayat di atas telah tegas menerangkan hukum nikah Mut’ah.

C.     ASBAB WURUD AL-HADIS
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: كُنَّا نَغْزُوْ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص لَيْسَ مَعَنَا نِسَاءٌ، فَقُلْنَا: اَلاَ نَخْتَصِى؟ فَنَهَانَا عَنْ ذلِكَ، ثُمَّ
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: اِنَّمَا كَانَتِ اْلمُتْعَةُ فِى اَوَّلِ اْلاِسْلاَمِ. كَانَ الرَّجُلُ يَقْدُمُ اْلبَلْدَةَ لَيْسَ لَهُ بِهَا مَعْرِفَةٌ. فَيَتَزَوَّجُ اْلمَرْأَةَ بِقَدْرِ مَا يَرَى اَنَّهُ يُقِيْمُ فَتَحْفَظُ لَهُ مَتَاعَهُ، وَ تُصْلِحُ لَهُ شَأْنَهُ حَتَّى نَزَلَتْ هذِهِ اْلآيَةُ: اِلاَّ عَلى اَزْوَاجِهِمْ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ. فَكُلُّ فَرْجٍ سِوَى هُمَا حَرَامٌ. الترمذى
Dan dari Muhammad bin Ka’ab dari Ibnu Abbas, ia berkata : Sebenarnya kawin mut’ah itu hanya terjadi pada permulaan Islam, yaitu seseorang datang ke suatu negeri dimana ia tidak memiliki pengetahuan tentang negeri itu, lalu ia mengawini seorang wanita selama ia muqim (di tempat itu), lalu wanita itu memelihara barangnya dan melayani urusannya sehingga turunlah ayat ini (Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki). (QS Al-Mukminuun : 6).
عَنْ عَلِيٍّ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص نَهَى عَنْ نِكَاحِ اْلمُتْعَةِ وَ عَنْ لُحُوْمِ اْلحُمُرِ اْلاَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ. و فى رواية: نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَ عَنْ لُحُوْمِ اْلحُمُرِ اْلاِنْسِيَّةِ. احمد و البخارى و مسلم
Dari Ali RA, bahwasanya Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah dan daging himar jinak pada waktu perang Khaibar. Dan dalam satu riwayat (dikatakan), “Rasulullah SAW melarang kawin mut’ah pada masa perang Khaibar dan (melarang makan) daging himar piaraan”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
عَنْ سَبُرَةَ اْلجُهَنِيِّ اَنَّهُ غَزَا مَعَ النَّبِيِّ ص فَتْحَ مَكَّةَ، قَالَ: فَاَقَمْنَا بِهَا خَمْسَةَ عَشَرَ، فَاَذِنَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ ص فِى مُتْعَةِ النِّسَاءِ. وَ ذَكَرَ حَدِيْثَ اِلَى اَنْ قَالَ: فَلَمْ اَخْرُجْ حَتَّى حَرَّمَهَا رَسُوْلُ اللهِ ص.احمد و مسلم
Dari Saburah Al-Juhaniy, bahwa sesungguhnya ia pernah berperang bersama Rasulullah SAW dalam menaklukkan Makkah. Saburah berkata, “Kemudian kami bermuqim di sana selama lima belas hari, lalu Rasulullah SAW mengizinkan kami kawin mut’ah”. Dan ia menyebutkan (kelanjutan) hadits itu. Selanjutnya Saburah berkata, "Maka tidaklah kami keluar hingga Rasulullah SAW mengharamkannya”. [HR. Ahmad dan Muslim]
و فى رواية: اِنَّهُ كَانَ مَعَ النَّبِيِّ ص فَقَالَ: ياَيُّهَا النَّاسُ، اِنِّى كُنْتُ اَذِنْتُ لَكُمْ فِى اْلاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَ اِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ اِلَى يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ، وَ لاَ تَأْخُذْوْا مِمَّا آتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْئًا. احمد و مسلم
Dan dalam satu riwayat (dikatakan) : Bahwa sesungguhnya Saburah pernah bersama-sama Nabi SAW, lalu beliau bersabda, “Hai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu kawin mut’ah, dan bahwasanya Allah benar-benar telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat, maka barangsiapa yang masih ada suatu ikatan dengan wanita-wanita itu hendaklah ia lepaskan dan janganlah kamu mengambil kembali apa-apa yang telah kamu berikan kepada mereka itu sedikitpun”. [HR. Ahmad dan Muslim]
وَفِى رِوَايَةٍ لَهُ : (٣/١٣٤) : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلّى الله عليه و سلّم نَهَى عَنِ الْمُتْعَةِ وَقَالَ: اَلاَ اِنْهَا حَرَامٌ مِنْ يَوْمِكُمْ هَذَا اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ أَعْطَى شَيْئًا فَلاَ يَأْخُذْهُ.
Dalam riwayat yang lain (4/134), Sabroh menjelaskan sesungguhnya Rasulullah telah melarang nikah mut’ah dan beliau bersabda: “Ketahuilah! Sesungguhnya nikah mut’ah itu haram mulai (sejak) hari ini (yakni ketika fathu makkah) sampai hari kiamat. Dan barangsiapa yang telah memberikan sesuatu (harta atau mahar kepada perempuan-perempuan yang dinikah secara mut’ah) janganlah ia mengambilnya lagi.”
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلاَكْوَعِ قَالَ: رَخَّصَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ ص فِى مُتْعَةِ النِّسَاءِ عَامَ اَوْطَاسٍ ثَلاَثَةَ اَيَّامٍ. ثُمَّ نَهَى عَنْهَا. احمد و مسلم
Dari Salamah bin Akwa’, ia berkata, “Rasulullah SAW memberi keringanan (hukum) kepada kami untuk kawin mut’ah pada tahun perang Authas selama tiga hari, kemudian ia melarangnya”. [HR. Ahmad dan Muslim]
و فى رواية عنه: اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص فِى حَجَّةِ اْلوَدَاعِ نَهَى عَنْ نِكَاحِ اْلمُتْعَةِ. احمد و ابو داود
Dan dalam riwayat lain dari Saburah (dikatakan), “Bahwasanya Rasulullah SAW pada waktu haji Wada’ melarang kawin mut’ah”. [HR. Ahmad dan Abu Dawud].

D.    MUNASABAH AL-HADIST
وَفِى رِوَايَةٍ لَهُ: (٤/١٣٢) : أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلّى الله عليه و سلّم فَقَالَ: يَآاَيُّهَا النَّاسُ اِنِّي قَدْ كُنْتُ اَذِنْتُ لَكُمْ فِى اْلاِسْتِمْتَاعٍ مِنَ النِّسَاءِ وَاِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ, فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَل سَبِيْلَهُ وَلاَ تَأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْئًا.
Dalam riwayat yang lain bagi muslim (4/132); Sabroh menjelaskan larangan Nabi “Wahai manusia! Sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu untuk nikah mut’ah, dan (sekarang) sesungguhnya Allah telah mengharamkan nikah mut’ah tersebut sampai hari kiamat. Maka barangsiapa yang masih mempunyai ikatan (mut’ah) dengan perempuan-perempuan tersebut, hendaklah mereka lepaskan (putuskan ikatan perjanjian nikah mut’ah tersebut), dan janganlah kamu mengambil kembali sedikitpun juga apa-apa yang pernah kamu berikan kepada mereka (perempuan tersebut).”
وَفِى رِوَايَةٍ لَهُ : (٣/١٣٤) : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلّى الله عليه و سلّم نَهَى عَنِ الْمُتْعَةِ وَقَالَ: اَلاَ اِنْهَا حَرَامٌ مِنْ يَوْمِكُمْ هَذَا اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ أَعْطَى شَيْئًا فَلاَ يَأْخُذْهُ.
Dalam riwayat yang lain bagi Muslim (4/134), Sabroh menjelaskan sesungguhnya Rasulullah telah melarang nikah mut’ah dan beliau bersabda: “Ketahuilah! Sesungguhnya nikah mut’ah itu haram mulai (sejak) hari ini (yakni ketika fathu makkah) sampai hari kiamat. Dan barangsiapa yang telah memberikan sesuatu (harta atau mahar kepada perempuan-perempuan yang dinikah secara mut’ah) janganlah ia mengambilnya lagi.
E.     SYARH AL-HADIST
“Dan (diharamkan juga atas kalian untuk menikahi) perempuan-perempuan yang telah bersuami, kecuali perempuan yang menjadi budak kalian. (Ini adalah) ketetapan dari Allah atas kalian. Dan dihalalkan bagi kalian perempuan-perempuan selain yang telah disebutkan tadi dengan memberikan harta kalian untuk menikahi mereka dan tidak untuk berzina. Maka karena kalian menikmati mereka, berikanlah mahar kepada mereka, dan hal itu adalah kewajiban kalian. Dan tidak mengapa apabila kalian telah saling rela sesudah terjadinya kesepakatan. Sesungguhnya Allah itu maha mengetahui dan maha bijaksana”. (QS:4;24)
Dalam penafsirkan surat an-Nisa ayat 24 disebutkan Al-Khazin (salah seorang Mufasir Sunni) menjelaskan difinisi nikah mut’ah sebagai berikut, “Dan menurut sebagian kaum (ulama) yang dimaksud dengan hukum yang terkandung dalam ayat ini ialah nikah mut’ah yaitu seorang pria menikahi seorang wanita sampai jangka waktu tertentu dengan memberikan mahar sesuatu tertentu, dan jika waktunya telah habis maka wanita itu terpisah dari pria itu dengan tanpa talaq (cerai), dan ia (wanita itu) harus beristibrâ’ (menanti masa iddahnya selasai dengan memastikan kesuciaannya dan tidak adanya janin dalam kandungannya), dan tidak ada hak waris antara keduannya. Nikah ini boleh/halal di awal masa Islam kemudian diharamkan oleh Rasulullah saw.”[1] Dan nikah Mut’ah dalam pandangan para pengikut Ahlulbait as. adalah seperti difinisi di atas.
Ayat di atas mengatakan bahwa wanita-wanita yang telah kamu nikahi dengan nikah mut’ah dan telah kamu gauli maka berikanlah kepada mereka itu mahar secara sempurna. Kata اسْتَمْتَعْتُمْ berartikan nikah mut’ah yaitu nikah berjangka waktu tertentu sesuai kesepakatan antara kedua pasangan calon suami istri. Dan dipilihnya kata tersebut disebabkan nikah mut’ah memberikan kesenangan, kenikmatan dan manfaat.
Ibnu Hajar mendifinisikan nikah mut’ah, “Nikah mut’ah ialah menikahi wanita sampai waktu tertentu, maka jika waktu itu habis terjadilah perpisahan, dan difahami dari kata-kata Bukhari akhiran (pada akhirnya) bahwa ia sebelumnya mubaah, boleh dan sesungguhnya larangan itu terjadi pada akhir urusan.”[2]
Secara istilah,  yang dimaksud nikah mut’ah adalah, seseorang yang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.[3]
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra` (yaitu satu kali haid bagi wanita monopouse, dua kali haid bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.[4]
Ketika nikah mut’ah tidak dikategorikan sebagai perbuatan zina, namun ulama ahli sunnah tidak mengemukakan satu takrif yang jelas terhadap amalan pernikahan ini selain sekadar menjelaskan yang intinya adalah seorang lelaki yang memakai wanita untuk disetubuhi dalam waktu yang telah ditentukan dengan bayaran sesuai dengan kesepakatan bersama antara Kitab Thaharah (Bersuci) mereka, sementara wanita itu tidak berhak mendapatkan nafkah, malah
dia juga tidak wajib beriddah kecuali sampai dia suci. Mazhab Imamiyah memberikan masa iddahnya hingga sampai dua kali suci.
Oleh kerana nikah mut’ah merupakan pelecehan terhadap kaum wanita kerana mereka dianggap barang dagangan yang boleh diperjualbelikan, maka Islam mengharamkannya, meskipun sewaktu itu diharamkan masih wujud keringanan yang membolehkannya lantaran ada alasan-alasan yang jelas.
Al-Nawawi berkata: “Pengharaman dan pembolehan nikah mut’ah terjadi sebanyak dua kali. Pertama, nikah ini dibolehkan sebelum Perang Khaibar, kemudian diharamkan pada waktu Perang Khaibar. Kedua, kemudian dibolehkan semula pada tahun penaklukkan kota Makkah, kemudian diharamkan untuk selama-lamanya sampai hari kiamat.”
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir mengatakan, “Imam Syafi’i dan sekelompok ulama berpendapat bahwa nikah mut’ah dibolehkan kemudian dimansukhkan kemudian dibolehkan kemudian dimansukhkan, dua kali.” [5]
Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an Nisa`: 25].
Dalam ayat ini ada dua alasan. Pertama, jika nikah mut'ah diperbolehkan, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukannya bagi orang yang kesulitan menjaga diri atau keperluan untuk menikahi budak atau bersabar untuk tidak menikah. Kedua, ayat ini merupakan larangan terhadap nikah mut'ah, karena Allah S.W.T berfirman "karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka". Sebagaimana diketahui, bahwa nikah seizin orang tua atau wali, itulah sebenarnya nikah yang disyariatkan, yaitu dengan wali dan dua orang saksi. Adapun nikah mut'ah, tidak mensyariatkan demikian.[6]
Dan dampak negatif dari nikah mut’ah ini seperti yang banyak didapati kasusnya adalah beredarnya penyakit kelamin semacam spilis, raja singa dan sejenisnya di kalangan mereka yang menghalalkannya. Karena pada hakikatnya nikah mu’tah itu memang zina.
F.      NIKAH MUT’AH MENURUT HUKUM INDONESIA
Menurut UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan nikah mut’ah sangat bertentangan dan tidak sah menurut hukum di Indonesia, karena dilihat dari tata cara dan tujuan perkawinan serta tujuan nikah mut’ah ini bertentangan dengan aturan perundang-undangan tentang perkawinan Islam di Indonesia.
Selain berlawanan dengan ajaran agama Islam, praktik nikah mut’ah juga berlawanan dengan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Perkawinan dalam UU tersebut bersifat abadi, sedang nikah mut’ah hanya bersifat sementara.
Dalam Pasal 1 undang-undang itu disebutkan:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), tepatnya pada Pasal 2 dan 3 dijelaskan:
“Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat “mitsaqan ghalidhan” untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah tersebut bertentangan dengan banyak hal, di antaranya:
1.      Bertengan dengan dalil al-Qur’an serta as-Sunnah.
2.      Bertentangan dengan ijma’ para ulama yang berpendapat tentang keharaman nikah mut’ah.
3.      Bertentangan dengan Pancasila, terutama Sila I, Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Sila II, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
4.      Bertentangan dengan UUD 1945, Pasal 29 ayat (1).
5.      Bertentangan dengan UU No. 1/1974, tentang perkawinan, Pasal 1.
6.      Bertentangan dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang didinstruksikan oleH pemerintah untuk dilaksanakan (instruksi No. 1 Th. 1991 tanggal 10 Juni 1991).
7.      Dari segi sosial dan moral, bertentangan dengan ajaran untuk menjaga kelangsungan perkawinan serta kehormatan keluarga.
Berdasarkan hal di atas, sangat jelas apabila nikah mut’ah bertentangan dengan hukum Islam maupun hukum di Indonesia. Oleh sebab itu kita sebagai umat Islam seharusnya menghindari serta mencegah terjadinya nikah mut’ah ini yang sering kali hanya bertujuan memuaskan nafsu belaka. Serta pemerintah sebagai pelindung rakyat seharusnya mensosialisasikan bahwa nikah mut’ah ini bertentangan dengan hukum di Indonesia serta memberi sanksi bagi tegas bagi yang melanggarnya .



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Nikah mut’ah merupakan nikah mempunyai dibatas waktu yang biasanya dilakukan untuk memenuhi hasrat nafsu.  Nikah mut’ah hukumnya haram menurut Al-Qur’an dan Hadist, walaupun sebelumnya pernah diperbolehkan Rasulullah, akan tetapi dilarang hingga hari kiamat.Bila ditijau dari hukum positif Indonesia pun, nikah mut’ah tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia



DAFTAR PUSTAKA

Tafsir Khazin (Lubab al-Ta’wiil)
Athu al-Baari.19,200, Ktaabun- Nikah, bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada akhirnya).
Armen Halim Naro, Nikah Mut’ah (Nikah Kontrak), 2006.
Subulus Salam, ash Shan'ani, Darul Kutub Ilmiyah (3/243).
Tafsir Ibnu Katsir.1,484, pada tafsir ayat 24 surah al-Nisaa’
Jami' Ahkamil Qur`an, al Qurthubi (5/130).
http://Nikah-Mut'ah-(Kawin Kontrak)-almanhaj.or.id.htm
http://mkitasolo.blogspot.com/2011/12/tafsir-surat-nisa-4-ayat-24.html



[1] Tafsir Khazin (Lubab al-Ta’wiil).1,506
[2] athu al-Baari.19,200, Ktaabun- Nikah, bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada akhirnya).
[3] Armen Halim Naro, Nikah Mut’ah (Nikah Kontrak), 2006, hlm: 2
[4] Subulus Salam, ash Shan'ani, Darul Kutub Ilmiyah (3/243).
[5] Tafsir Ibnu Katsir.1,484, pada tafsir ayat 24 surah al-Nisaa’.
[6] Jami' Ahkamil Qur`an, al Qurthubi (5/130).