21 March 2015

DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS TIONGHOA PADA ORDE BARU

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[1] Dari penjelasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa HAM merupakan Hak dasar dan pokok yang hakiki yang dimiliki semua manusia yang tidak dapat dikurangi karena merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. sehingga pemerintah wajib menjaga dan melindungi agar pelaksanaan HAM tersebut dapat terjamin dengan baik dan dalam pelaksanaannya tidak melanggar HAM orang lain. Salah satu contoh pelanggaran HAM adalah diskriminasi pada kaum minoritas.
Pada awalnya Etnis Tionghoa datang ke Indonesia pada zaman Hindia belanda untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja mengadu nasib sebagai pedagang, namun kemudian menetap di Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia. Pada masa Orde Baru, pemerintahan banyak membuat peraturan maupun kebijakan serta perlakuan yang mendiskriminasikan etnis Tionghoa di Indonesia serta pelanggaran HAM pada mereka saat terjadinya kerusuhan Mei 1998
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis sampaikan diatas, dapat diambil permasalahan yang akan dibahas makalah ini yaitu :
1. Apa saja pelanggaran HAM kepada etnis Tionghoa yang terjadi pada masa orde baru?
2. Bagaimana upaya untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM kepada etnis Tionghoa ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pelanggaran HAM Kepada Etnis Tionghoa
Orde Baru dimulai dari lengsernya Soekarno akibat dari pemberontakan G 30 S/PKI. Pada Orde Baru yang di pimpin oleh rezim Soeharto ini banyak muncul pengkotak-kotakan dalam kehidupan bangsa Indonesia, misalnya perbedaan antara muslim dan non-muslim, militer dan sipil, pribumi dan non pribumi.
Di awal Orde Baru, Soeharto mengeluarkan peraturan menyangkut kewarganegaraan Indonesia yang sifatnya menekan etnis Tionghoa di Indonesia yaitu Kepres No 240 Tahun 1967, yang dilanjutkan dengan kebijakan-kebijakan baru yang lebih memojokkan etnis Tionghoa, salah satunya mengenai Pelembagaan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang diatur melalui Peraturan Mentri Kehakiman (Permenkeh) No. JB 3/4/12 Tahun 1978 yang sangat diskriminatif yang merupakan bentuk state sponsored racial discrimination.
Resim Orde Baru secara sistematis dan konsisten membatasi, menekan serta menghalangi etnis tionghoa mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia, diantaranya[2]:
1.      Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 tentang Prosedur Ganti Nama Bagi Warga Negara Indonesia yang Memakai Nama China Berdiam di Luar Negeri.
2.      TAP MPRS RI No. XXVII/MPRS/1966 tentang agama, Pendidikan dan Kebudayaan, yang melarang etnis Tionghoa pemeluk agama Tao beribadah di depan Umum, serta melarang adanya pendidikan dan huruf yang bercirikan kebudayaan China.
3.      Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967 tentang penggantian penyebutan etnis Tionghoa dengan China yang sebenarnya maksud edaran ini hanya ditujukan/dialamatkan pada orang Tionghoa Asing. Sedangkan untuk WNI keturunan Tionghoa, sebutan keturunan Tionghoa itu tetap dipertahankan, tidak diubah. Tapi karena tingginya sentimen masyarakat setelah peristiwa G30S/PKI, penggunakan istilah "Cina" dipakai untuk semua orang-orang tionghoa,  termasuk WNI keturunan Tionghoa.
Produk-produk hukum tersebut jelas menekan kehidupan sosial budaya etnis Tionghoa di Indonesia dan merupakan bentuk pelanggaran HAM oleh negara terhadap individu, khususnya hak budaya (cultural right) dan dapat diartikan sebagai cultural genocide.[3]
Pelanggaran Ham terhadap etnis Tionghoa tersebut mencapai puncak pada saat terjadi kerusuhan Mei tahun 1998 yang terjadi di banyak tempat untuk menuntut turunnya Soeharto. Menurut temuan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta)  yang dibentuk untuk mengemukan serta mengungkap fakta, pelaku serta latar belakang kerusuhan mei 1998. Menurut temuan dari TGPF, kerugian/korban kerusuhan tersebut dapat dikategorikan menjadi kerugian material, kerugian kehilangan pekerjaan, korban meninggal dunia dan luka-luka. Dari klasifikasi kerugian diatas, banyak korban tersebut adalah etnis Tionghoa. Pada kerusuhan tersebut banyak perempuan etnis tionghoa yang diperkosa beramai-ramai, dibunuh serta dijarah dan dibakar harta benda mereka seperti mobil, sepeda motor, serta toko dan bangunan mereka. Sedangkan ABRI sebagai pelindung serta penjaga keamanan terkesan membiarkan saja kejadian tersebut.
B.     Upaya penyelesaian kasus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa
Diskriminasi pada etnis Tionghoa zaman rezim Orde Baru yang dilakukan oleh pemerintah pada masa itu melalui kebijakan serta peraturan yang dikeluarkan bertentangan dengan beberapa pasal UUD 1945 antara lain[4]:
1.        Pasal 28B ayat 2 yang berisi “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
2.        Pasal 28D ayat 4 yang berisi “ Setiap orang berhak atas status kewarganegaraannya”.
3.        Pasal 28E pasal 1 yang berisi “ Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Selepas rezim Orde Baru, pemerintah berupaya penyelesaian pelanggaran HAM pada masa lalu dengan penerbitan beberapa Undang Undang, antara lain:
1.         Dikeluarkannya Kepres No. 50 Tahun 1993 atas rekomendasi Lokakarya I Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan oleh Departemen Luar Negeri RI dengan sponsor dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, berupa pembentukan Komnas HAM.
2.        UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan landasan yang kuat tentang keberadaan, tujuan, fungsi, keanggotan, asas, kelengkapan, serta tugas dan wewenang Komnas HAM. Hingga saat ini Komnas HAM berperan aktif untuk menyelidiki serta mengusut pelanggaran HAM pada masa Orde Baru, namun penyelidikan itu seperti tidak membuahkan hasil dikarenakan Komnas HAM tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM tersebut.
3.        UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM Ad-Hoc.  UU No. 26 ini berisi tentang pembentukan pengadilan HAM untuk kepentingan penyelesaian pelanggaran HAM. UU ini memiliki pasal yang mengatur tentang berlaku surut sehingga dapat mengusut pelanggaran HAM dimasa lalu.
4.        UU No. 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.  Komisi ini bertugas untuk untuk mengungkapkan pelanggaran HAM berat di masa lalu dan melaksanakan proses rekonsiliasi nasional demi keutuhan bangsa.
5.      UU No. 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis
Dengan adanya pembentukan Komnas HAM serta dikeluarkan beberapa Undang-Undang yang mengatur tentang HAM serta diskriminasi kasus-kasus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa pada masa orde Baru seharusnya dapat di selesaikan, namun kenyataannya kesimpangsiuran fakta penyelidikan serta penyelesaian penyelidikan kasus-kasus tersebut seperti hilang ditelan bumi tanpa ada pelaku yang dinyatakan bersalah, sehingga membuat masih banyaknya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang masih sering kita temui dimana-mana hingga saat ini.


BAB III
KESIMPULAN
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Diskriminasi terhadap suatu etnis tertentu bertentangan dengan UUD 1945 namun pada kenyataannya pada zaman rezim Soeharto diskriminasi serta perampasan hak-hak asasi terjadi pada etnis Tionghoa dikarenakan kebencian sebagian oknum pemerintah yang berkuasa serta masyarakat, padahal pemerintah seharusnya melindungi warganya. Hingga saat ini penyelidikan pelanggaran HAM pada masa Orde Baru tidak ada penyelesaiannya di pihak pemerintah, padahal banyak korban yang menuntut untuk segera diungkap.



Daftar Pustaka
Frans, Winarta., Suara Rakyat Hukum Tertinggi. Kompas. Jakarta, 2009
Suparman, marzuki., Tragedi Politik Hukum HAM. Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 2011
Fatwa, A.M., Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. Kompas. Jakarta, 2009
http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia.html, diakses pada tanggal 25 Mei 2013




[1] Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1
[2]Frans H. Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Jakarta : Kompas, Februari 2009, hal 185-186

[3] Yang dimaksud dengan cultural genocide menurut Geoffrey Robetson adalah: “by prohobiting in use of a group’s language, rewritting, or obliterating its history or destroying its icon” [Geoffrey Robetson QC. Crimes aAgain Humanity, The struggle for Global Justice (Australia: Penguin Books, 1993), hal. 229]
[4] A.M. Fatwa, Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta : Kompas, 2009, Hlm. 153-154 

2 comments:

  1. P o k e r' V i t a Memberikan Bonus Promo Bonus TurnOver, di Permainan Poker Online, Domino Online, Capsa, Bandar Kiu-Kiu, Qiu-Qiu, Live Poker, di Agen Poker Online Terpercaya. Bonus Refferal 15%, Minimal Deposit 10rb!! Nikmati Berbagai Permainan Lainnya Seperti: Sabung Ayam Online Terbaik


    HUBUNGI KAMI !!
    WA: 0812.2222.996
    BBM : PKRVITA1 (HURUF BESAR)
    Wechat: pokervitaofficial
    Line: vitapoker

    FESTIFAL POKER 2019

    BANDAR POKER TERPERCAYA

    JUDI POKER ONLINE INDONESIA

    ReplyDelete