BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[1]
Dari penjelasan tersebut dapat kita simpulkan bahwa HAM merupakan Hak dasar dan
pokok yang hakiki yang dimiliki semua manusia yang tidak dapat dikurangi karena
merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. sehingga pemerintah wajib menjaga
dan melindungi agar pelaksanaan HAM tersebut dapat terjamin dengan baik dan
dalam pelaksanaannya tidak melanggar HAM orang lain. Salah satu contoh
pelanggaran HAM adalah diskriminasi pada kaum minoritas.
Pada awalnya Etnis Tionghoa datang ke
Indonesia pada zaman Hindia belanda untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja mengadu
nasib sebagai pedagang, namun kemudian menetap di Indonesia dan menjadi warga
negara Indonesia. Pada masa Orde Baru, pemerintahan banyak membuat peraturan maupun
kebijakan serta perlakuan yang mendiskriminasikan etnis Tionghoa di Indonesia
serta pelanggaran HAM pada mereka saat terjadinya kerusuhan Mei 1998
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang penulis
sampaikan diatas, dapat diambil permasalahan yang akan dibahas makalah ini
yaitu :
1. Apa saja pelanggaran HAM kepada etnis
Tionghoa yang terjadi pada masa orde baru?
2. Bagaimana upaya untuk menyelesaikan
kasus-kasus pelanggaran HAM kepada etnis Tionghoa ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pelanggaran
HAM Kepada Etnis Tionghoa
Orde Baru dimulai dari lengsernya
Soekarno akibat dari pemberontakan G 30 S/PKI. Pada Orde Baru yang di pimpin
oleh rezim Soeharto ini banyak muncul pengkotak-kotakan dalam kehidupan bangsa
Indonesia, misalnya perbedaan antara muslim dan non-muslim, militer dan sipil,
pribumi dan non pribumi.
Di awal Orde Baru, Soeharto mengeluarkan
peraturan menyangkut kewarganegaraan Indonesia yang sifatnya menekan etnis
Tionghoa di Indonesia yaitu Kepres No 240 Tahun 1967, yang dilanjutkan dengan
kebijakan-kebijakan baru yang lebih memojokkan etnis Tionghoa, salah satunya
mengenai Pelembagaan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI)
yang diatur melalui Peraturan Mentri Kehakiman (Permenkeh) No. JB 3/4/12 Tahun
1978 yang sangat diskriminatif yang merupakan bentuk state sponsored racial
discrimination.
Resim Orde Baru secara sistematis dan
konsisten membatasi, menekan serta menghalangi etnis tionghoa mendapatkan
hak-haknya sebagai warga negara Indonesia, diantaranya[2]:
1. Keputusan
Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/12/1966 tentang Prosedur Ganti Nama Bagi Warga
Negara Indonesia yang Memakai Nama China Berdiam di Luar Negeri.
2. TAP
MPRS RI No. XXVII/MPRS/1966 tentang agama, Pendidikan dan Kebudayaan, yang
melarang etnis Tionghoa pemeluk agama Tao beribadah di depan Umum, serta
melarang adanya pendidikan dan huruf yang bercirikan kebudayaan China.
3. Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No.
SE.06/Pres.Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967 tentang penggantian penyebutan etnis
Tionghoa dengan China yang sebenarnya maksud edaran ini hanya
ditujukan/dialamatkan pada orang Tionghoa Asing. Sedangkan untuk WNI keturunan
Tionghoa, sebutan keturunan Tionghoa itu tetap dipertahankan, tidak diubah.
Tapi karena tingginya sentimen masyarakat setelah peristiwa G30S/PKI, penggunakan
istilah "Cina" dipakai untuk semua orang-orang tionghoa, termasuk WNI keturunan Tionghoa.
Produk-produk
hukum tersebut jelas menekan kehidupan sosial budaya etnis Tionghoa di
Indonesia dan merupakan bentuk pelanggaran HAM oleh negara terhadap individu, khususnya
hak budaya (cultural right) dan dapat diartikan sebagai cultural genocide.[3]
Pelanggaran Ham terhadap etnis Tionghoa
tersebut mencapai puncak pada saat terjadi kerusuhan Mei tahun 1998 yang terjadi
di banyak tempat untuk menuntut turunnya Soeharto. Menurut temuan TGPF (Tim
Gabungan Pencari Fakta) yang dibentuk
untuk mengemukan serta mengungkap fakta, pelaku serta latar belakang kerusuhan
mei 1998. Menurut temuan dari TGPF, kerugian/korban kerusuhan tersebut dapat
dikategorikan menjadi kerugian material, kerugian kehilangan pekerjaan, korban
meninggal dunia dan luka-luka. Dari klasifikasi kerugian diatas, banyak korban
tersebut adalah etnis Tionghoa. Pada kerusuhan tersebut banyak perempuan etnis
tionghoa yang diperkosa beramai-ramai, dibunuh serta dijarah dan dibakar harta
benda mereka seperti mobil, sepeda motor, serta toko dan bangunan mereka.
Sedangkan ABRI sebagai pelindung serta penjaga keamanan terkesan membiarkan
saja kejadian tersebut.
B. Upaya
penyelesaian kasus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa
Diskriminasi pada etnis Tionghoa zaman
rezim Orde Baru yang dilakukan oleh pemerintah pada masa itu melalui kebijakan
serta peraturan yang dikeluarkan bertentangan dengan beberapa pasal UUD 1945 antara
lain[4]:
1.
Pasal 28B ayat 2
yang berisi “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
2.
Pasal 28D ayat 4
yang berisi “ Setiap orang berhak atas status kewarganegaraannya”.
3.
Pasal 28E pasal
1 yang berisi “ Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya,
serta berhak kembali.
Selepas
rezim Orde Baru, pemerintah berupaya penyelesaian pelanggaran HAM pada masa
lalu dengan penerbitan beberapa Undang Undang, antara lain:
1.
Dikeluarkannya Kepres No. 50 Tahun 1993 atas
rekomendasi Lokakarya I Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan oleh Departemen
Luar Negeri RI dengan sponsor dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, berupa pembentukan
Komnas HAM.
2.
UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang memberikan landasan yang kuat tentang
keberadaan, tujuan, fungsi, keanggotan, asas, kelengkapan, serta tugas dan
wewenang Komnas HAM. Hingga saat ini Komnas HAM berperan aktif untuk
menyelidiki serta mengusut pelanggaran HAM pada masa Orde Baru, namun
penyelidikan itu seperti tidak membuahkan hasil dikarenakan Komnas HAM tidak
mempunyai kewenangan untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM tersebut.
3.
UU No. 26 Tahun 2000
tentang pengadilan HAM Ad-Hoc. UU No. 26
ini berisi tentang pembentukan pengadilan HAM untuk kepentingan penyelesaian
pelanggaran HAM. UU ini memiliki pasal yang mengatur tentang berlaku surut
sehingga dapat mengusut pelanggaran HAM dimasa lalu.
4.
UU No. 27 tahun
2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Komisi ini bertugas untuk untuk mengungkapkan pelanggaran HAM berat di
masa lalu dan melaksanakan proses rekonsiliasi nasional demi keutuhan bangsa.
5.
UU No. 40 Tahun
2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis
Dengan adanya pembentukan Komnas HAM
serta dikeluarkan beberapa Undang-Undang yang mengatur tentang HAM serta
diskriminasi kasus-kasus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa pada masa orde
Baru seharusnya dapat di selesaikan, namun kenyataannya kesimpangsiuran fakta penyelidikan
serta penyelesaian penyelidikan kasus-kasus tersebut seperti hilang ditelan
bumi tanpa ada pelaku yang dinyatakan bersalah, sehingga membuat masih
banyaknya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa yang masih sering kita temui
dimana-mana hingga saat ini.
BAB
III
KESIMPULAN
Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia. Diskriminasi terhadap suatu etnis tertentu bertentangan dengan UUD
1945 namun pada kenyataannya pada zaman rezim Soeharto diskriminasi serta
perampasan hak-hak asasi terjadi pada etnis Tionghoa dikarenakan kebencian
sebagian oknum pemerintah yang berkuasa serta masyarakat, padahal pemerintah
seharusnya melindungi warganya. Hingga saat ini penyelidikan pelanggaran HAM
pada masa Orde Baru tidak ada penyelesaiannya di pihak pemerintah, padahal
banyak korban yang menuntut untuk segera diungkap.
Daftar Pustaka
Frans,
Winarta., Suara Rakyat Hukum Tertinggi.
Kompas. Jakarta, 2009
Suparman,
marzuki., Tragedi Politik Hukum HAM. Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 2011
Fatwa,
A.M., Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945. Kompas. Jakarta, 2009
http://politik.kompasiana.com/2012/04/04/indikator-dan-tingkatan-diskriminasi-terhadap-etnis-cina-tionghoa-di-indonesia-452310.html,
diakses pada
tanggal 25 mei 2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia.html,
diakses pada tanggal 25 Mei 2013
http://web.budaya-tionghoa.net/tokoh-a-diaspora/sejarah-tionghoa/2793-apakah-sebelum-era-belanda-ada-konflik-etnis,
diakses pada tanggal 26 Mei 2013
http://www.semanggipeduli.com/Sejarah/frame/kerusuhan.html,
diakses pada tanggal 26 Mei 2013
[1] Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal
1
[3] Yang dimaksud dengan cultural
genocide menurut Geoffrey Robetson adalah: “by prohobiting in use of a
group’s language, rewritting, or obliterating its history or destroying its
icon” [Geoffrey Robetson QC. Crimes aAgain Humanity, The struggle for Global
Justice (Australia: Penguin Books, 1993), hal. 229]
P o k e r' V i t a Memberikan Bonus Promo Bonus TurnOver, di Permainan Poker Online, Domino Online, Capsa, Bandar Kiu-Kiu, Qiu-Qiu, Live Poker, di Agen Poker Online Terpercaya. Bonus Refferal 15%, Minimal Deposit 10rb!! Nikmati Berbagai Permainan Lainnya Seperti: Sabung Ayam Online Terbaik
ReplyDeleteHUBUNGI KAMI !!
WA: 0812.2222.996
BBM : PKRVITA1 (HURUF BESAR)
Wechat: pokervitaofficial
Line: vitapoker
FESTIFAL POKER 2019
BANDAR POKER TERPERCAYA
JUDI POKER ONLINE INDONESIA
betmatik
ReplyDeletekralbet
betpark
mobil ödeme bahis
tipobet
slot siteleri
kibris bahis siteleri
poker siteleri
bonus veren siteler
YMM