21 March 2015

TAKHRIJ HADIS NIKAH MUT’AH

BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG
Pernikahan atau perkawinan merupakan sunnatullah pada alam ini, tidak ada yang keluar dari garisnya, manusia, hewan maupun tumbuhan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman "Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah”. Allah memilih sarana ini untuk berkembangbiaknya  mahluk dan berkesinambungannya ciptaan, setelah mempersiapkan setiap pasangan pada semua makhluknya di dunia ini.
Allah menciptakan manusia seperti ciptaan yang lainnya, tidak membiarkan nalurinya berbuat sekehendaknya, atau membiarkan hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak beraturan. Tetapi Allah meletakkan rambu-rambu dan aturan sebagaimana telah diterangkan oleh utusanNya, Nabi Muhammad S.A.W.
Namun, Nikah mut'ah akhir-akhir ini mulai banyak dilakukannya Nikah mut'ah oleh sebagian umat Islam di Indonesia. Praktik nikah mut`ah tersebut telah masyarakat, dan umat Islam Indonesia pada umumnya dikarenakan dipakai untuk kedok oleh sebagian orang untuk menghalalkan perselingkuhan maupun pernikahan yang hanya mengejar nafsu belaka. Oleh karena itu penulis akan mencoba hadits hukum nikah mut’ah.
B.     RUMUSAN MASALAH
Ø  Apa yang dimaksud nikah mut’ah?
Ø  Bagaimana hukum nikah mut’ah menurut hukum Islam dan hukum Indonesia?
Ø  Bagaimana sejarah munculnya hadist larangan nikah mut’ah?
Ø  Bagaimana penjelasan tentang hadis larangan nikah mut’ah?

C.     TUJUAN
Ø  Mengetahui pengertian nikah mut’ah
Ø  Mengetahui hukum nikah mut’ah menurut hukum Islam dan hukum Indonesia?
Ø  Mengetahui sejarah munculnya hadist tentang larangan nikah mut’ah
Ø  Mengetahui penjelasan tentang hadis larangan nikah mut’ah



BAB II
PEMBAHASAN
A.    HADIST UTAMA
Daripada Rabi’ bin Saburah daripada ayahnya bahwa Rasulullah (S.A.W) bersabda: “Aku sebelum ini telah diberi kebenaran untuk melakukan nikah mut’ah, namun sekarang Allah telah megharamkannya hingga hari kiamat. Jadi, barang siapa yang mempunyai isteri dengan cara nikah mut’ah, maka hendaklah dia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil maskawin yang telah kamu berikan kepadanya.” (Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, al-Nasa’i, Ibn Majah, Ahmad dan Ibn Hibban: 1027).

B.     KATA KUNCI
Hadits di atas menerangkan bahwa kaum muslimin bersama saudara-saudaranya yang lain dari jama’ah para sahabat dengan tegas dan terang menyatakan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dengan pengharaman abadiyyah hingga hari kiamat, yang sebelumnya pernah diperbolehkan, beliau pernah memberikan keringanan kepada para sahabat untuk melakukan nikah mut’ah dengan dua sebab yang dapat diterima pada waktu itu:
1.      Dalam keadaan darurat, yaitu pada masa peperangan di waktu safar
2.      Dalam waktu yang sangat singkat diantaranya selama 3 tiga hari.
Perlu dicermati bahwa dalam ayat di atas menerangkan apa yang dipraktikkan kaum Muslim dari kalangan sahabat-sabahat Nabi Muhammad SAW dan Rasulullah membimbing mereka akan apa yang harus mereka lakukan dan kerjakan. Ayat di atas sebenarnya tidak sedang menetapkan sebuah hukum baru, akan tetapi ia sedang membenarkan dan memberikan bimbingan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam bermut’ah. Bukti lain bahwa ayat di atas sedang menerangkan hukum nikah mut’ah ialah bahwa para ulama Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat tersebut telah dimansukhkan oleh beberapa ayat. Itu artinya mereka mengakui bahwa ayat di atas telah tegas menerangkan hukum nikah Mut’ah.

C.     ASBAB WURUD AL-HADIS
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: كُنَّا نَغْزُوْ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص لَيْسَ مَعَنَا نِسَاءٌ، فَقُلْنَا: اَلاَ نَخْتَصِى؟ فَنَهَانَا عَنْ ذلِكَ، ثُمَّ
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: اِنَّمَا كَانَتِ اْلمُتْعَةُ فِى اَوَّلِ اْلاِسْلاَمِ. كَانَ الرَّجُلُ يَقْدُمُ اْلبَلْدَةَ لَيْسَ لَهُ بِهَا مَعْرِفَةٌ. فَيَتَزَوَّجُ اْلمَرْأَةَ بِقَدْرِ مَا يَرَى اَنَّهُ يُقِيْمُ فَتَحْفَظُ لَهُ مَتَاعَهُ، وَ تُصْلِحُ لَهُ شَأْنَهُ حَتَّى نَزَلَتْ هذِهِ اْلآيَةُ: اِلاَّ عَلى اَزْوَاجِهِمْ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ. قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ. فَكُلُّ فَرْجٍ سِوَى هُمَا حَرَامٌ. الترمذى
Dan dari Muhammad bin Ka’ab dari Ibnu Abbas, ia berkata : Sebenarnya kawin mut’ah itu hanya terjadi pada permulaan Islam, yaitu seseorang datang ke suatu negeri dimana ia tidak memiliki pengetahuan tentang negeri itu, lalu ia mengawini seorang wanita selama ia muqim (di tempat itu), lalu wanita itu memelihara barangnya dan melayani urusannya sehingga turunlah ayat ini (Kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki). (QS Al-Mukminuun : 6).
عَنْ عَلِيٍّ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص نَهَى عَنْ نِكَاحِ اْلمُتْعَةِ وَ عَنْ لُحُوْمِ اْلحُمُرِ اْلاَهْلِيَّةِ زَمَنَ خَيْبَرَ. و فى رواية: نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَ عَنْ لُحُوْمِ اْلحُمُرِ اْلاِنْسِيَّةِ. احمد و البخارى و مسلم
Dari Ali RA, bahwasanya Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah dan daging himar jinak pada waktu perang Khaibar. Dan dalam satu riwayat (dikatakan), “Rasulullah SAW melarang kawin mut’ah pada masa perang Khaibar dan (melarang makan) daging himar piaraan”. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim]
عَنْ سَبُرَةَ اْلجُهَنِيِّ اَنَّهُ غَزَا مَعَ النَّبِيِّ ص فَتْحَ مَكَّةَ، قَالَ: فَاَقَمْنَا بِهَا خَمْسَةَ عَشَرَ، فَاَذِنَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ ص فِى مُتْعَةِ النِّسَاءِ. وَ ذَكَرَ حَدِيْثَ اِلَى اَنْ قَالَ: فَلَمْ اَخْرُجْ حَتَّى حَرَّمَهَا رَسُوْلُ اللهِ ص.احمد و مسلم
Dari Saburah Al-Juhaniy, bahwa sesungguhnya ia pernah berperang bersama Rasulullah SAW dalam menaklukkan Makkah. Saburah berkata, “Kemudian kami bermuqim di sana selama lima belas hari, lalu Rasulullah SAW mengizinkan kami kawin mut’ah”. Dan ia menyebutkan (kelanjutan) hadits itu. Selanjutnya Saburah berkata, "Maka tidaklah kami keluar hingga Rasulullah SAW mengharamkannya”. [HR. Ahmad dan Muslim]
و فى رواية: اِنَّهُ كَانَ مَعَ النَّبِيِّ ص فَقَالَ: ياَيُّهَا النَّاسُ، اِنِّى كُنْتُ اَذِنْتُ لَكُمْ فِى اْلاِسْتِمْتَاعِ مِنَ النِّسَاءِ وَ اِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ اِلَى يَوْمِ اْلقِيَامَةِ، فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ، وَ لاَ تَأْخُذْوْا مِمَّا آتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْئًا. احمد و مسلم
Dan dalam satu riwayat (dikatakan) : Bahwa sesungguhnya Saburah pernah bersama-sama Nabi SAW, lalu beliau bersabda, “Hai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu kawin mut’ah, dan bahwasanya Allah benar-benar telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat, maka barangsiapa yang masih ada suatu ikatan dengan wanita-wanita itu hendaklah ia lepaskan dan janganlah kamu mengambil kembali apa-apa yang telah kamu berikan kepada mereka itu sedikitpun”. [HR. Ahmad dan Muslim]
وَفِى رِوَايَةٍ لَهُ : (٣/١٣٤) : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلّى الله عليه و سلّم نَهَى عَنِ الْمُتْعَةِ وَقَالَ: اَلاَ اِنْهَا حَرَامٌ مِنْ يَوْمِكُمْ هَذَا اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ أَعْطَى شَيْئًا فَلاَ يَأْخُذْهُ.
Dalam riwayat yang lain (4/134), Sabroh menjelaskan sesungguhnya Rasulullah telah melarang nikah mut’ah dan beliau bersabda: “Ketahuilah! Sesungguhnya nikah mut’ah itu haram mulai (sejak) hari ini (yakni ketika fathu makkah) sampai hari kiamat. Dan barangsiapa yang telah memberikan sesuatu (harta atau mahar kepada perempuan-perempuan yang dinikah secara mut’ah) janganlah ia mengambilnya lagi.”
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلاَكْوَعِ قَالَ: رَخَّصَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ ص فِى مُتْعَةِ النِّسَاءِ عَامَ اَوْطَاسٍ ثَلاَثَةَ اَيَّامٍ. ثُمَّ نَهَى عَنْهَا. احمد و مسلم
Dari Salamah bin Akwa’, ia berkata, “Rasulullah SAW memberi keringanan (hukum) kepada kami untuk kawin mut’ah pada tahun perang Authas selama tiga hari, kemudian ia melarangnya”. [HR. Ahmad dan Muslim]
و فى رواية عنه: اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص فِى حَجَّةِ اْلوَدَاعِ نَهَى عَنْ نِكَاحِ اْلمُتْعَةِ. احمد و ابو داود
Dan dalam riwayat lain dari Saburah (dikatakan), “Bahwasanya Rasulullah SAW pada waktu haji Wada’ melarang kawin mut’ah”. [HR. Ahmad dan Abu Dawud].

D.    MUNASABAH AL-HADIST
وَفِى رِوَايَةٍ لَهُ: (٤/١٣٢) : أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلّى الله عليه و سلّم فَقَالَ: يَآاَيُّهَا النَّاسُ اِنِّي قَدْ كُنْتُ اَذِنْتُ لَكُمْ فِى اْلاِسْتِمْتَاعٍ مِنَ النِّسَاءِ وَاِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ, فَمَنْ كَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخَل سَبِيْلَهُ وَلاَ تَأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْئًا.
Dalam riwayat yang lain bagi muslim (4/132); Sabroh menjelaskan larangan Nabi “Wahai manusia! Sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu untuk nikah mut’ah, dan (sekarang) sesungguhnya Allah telah mengharamkan nikah mut’ah tersebut sampai hari kiamat. Maka barangsiapa yang masih mempunyai ikatan (mut’ah) dengan perempuan-perempuan tersebut, hendaklah mereka lepaskan (putuskan ikatan perjanjian nikah mut’ah tersebut), dan janganlah kamu mengambil kembali sedikitpun juga apa-apa yang pernah kamu berikan kepada mereka (perempuan tersebut).”
وَفِى رِوَايَةٍ لَهُ : (٣/١٣٤) : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلّى الله عليه و سلّم نَهَى عَنِ الْمُتْعَةِ وَقَالَ: اَلاَ اِنْهَا حَرَامٌ مِنْ يَوْمِكُمْ هَذَا اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ أَعْطَى شَيْئًا فَلاَ يَأْخُذْهُ.
Dalam riwayat yang lain bagi Muslim (4/134), Sabroh menjelaskan sesungguhnya Rasulullah telah melarang nikah mut’ah dan beliau bersabda: “Ketahuilah! Sesungguhnya nikah mut’ah itu haram mulai (sejak) hari ini (yakni ketika fathu makkah) sampai hari kiamat. Dan barangsiapa yang telah memberikan sesuatu (harta atau mahar kepada perempuan-perempuan yang dinikah secara mut’ah) janganlah ia mengambilnya lagi.
E.     SYARH AL-HADIST
“Dan (diharamkan juga atas kalian untuk menikahi) perempuan-perempuan yang telah bersuami, kecuali perempuan yang menjadi budak kalian. (Ini adalah) ketetapan dari Allah atas kalian. Dan dihalalkan bagi kalian perempuan-perempuan selain yang telah disebutkan tadi dengan memberikan harta kalian untuk menikahi mereka dan tidak untuk berzina. Maka karena kalian menikmati mereka, berikanlah mahar kepada mereka, dan hal itu adalah kewajiban kalian. Dan tidak mengapa apabila kalian telah saling rela sesudah terjadinya kesepakatan. Sesungguhnya Allah itu maha mengetahui dan maha bijaksana”. (QS:4;24)
Dalam penafsirkan surat an-Nisa ayat 24 disebutkan Al-Khazin (salah seorang Mufasir Sunni) menjelaskan difinisi nikah mut’ah sebagai berikut, “Dan menurut sebagian kaum (ulama) yang dimaksud dengan hukum yang terkandung dalam ayat ini ialah nikah mut’ah yaitu seorang pria menikahi seorang wanita sampai jangka waktu tertentu dengan memberikan mahar sesuatu tertentu, dan jika waktunya telah habis maka wanita itu terpisah dari pria itu dengan tanpa talaq (cerai), dan ia (wanita itu) harus beristibrâ’ (menanti masa iddahnya selasai dengan memastikan kesuciaannya dan tidak adanya janin dalam kandungannya), dan tidak ada hak waris antara keduannya. Nikah ini boleh/halal di awal masa Islam kemudian diharamkan oleh Rasulullah saw.”[1] Dan nikah Mut’ah dalam pandangan para pengikut Ahlulbait as. adalah seperti difinisi di atas.
Ayat di atas mengatakan bahwa wanita-wanita yang telah kamu nikahi dengan nikah mut’ah dan telah kamu gauli maka berikanlah kepada mereka itu mahar secara sempurna. Kata اسْتَمْتَعْتُمْ berartikan nikah mut’ah yaitu nikah berjangka waktu tertentu sesuai kesepakatan antara kedua pasangan calon suami istri. Dan dipilihnya kata tersebut disebabkan nikah mut’ah memberikan kesenangan, kenikmatan dan manfaat.
Ibnu Hajar mendifinisikan nikah mut’ah, “Nikah mut’ah ialah menikahi wanita sampai waktu tertentu, maka jika waktu itu habis terjadilah perpisahan, dan difahami dari kata-kata Bukhari akhiran (pada akhirnya) bahwa ia sebelumnya mubaah, boleh dan sesungguhnya larangan itu terjadi pada akhir urusan.”[2]
Secara istilah,  yang dimaksud nikah mut’ah adalah, seseorang yang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya. Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalaq dan tanpa warisan.[3]
Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu. Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak lebih dari empat puluh lima hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra` (yaitu satu kali haid bagi wanita monopouse, dua kali haid bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.[4]
Ketika nikah mut’ah tidak dikategorikan sebagai perbuatan zina, namun ulama ahli sunnah tidak mengemukakan satu takrif yang jelas terhadap amalan pernikahan ini selain sekadar menjelaskan yang intinya adalah seorang lelaki yang memakai wanita untuk disetubuhi dalam waktu yang telah ditentukan dengan bayaran sesuai dengan kesepakatan bersama antara Kitab Thaharah (Bersuci) mereka, sementara wanita itu tidak berhak mendapatkan nafkah, malah
dia juga tidak wajib beriddah kecuali sampai dia suci. Mazhab Imamiyah memberikan masa iddahnya hingga sampai dua kali suci.
Oleh kerana nikah mut’ah merupakan pelecehan terhadap kaum wanita kerana mereka dianggap barang dagangan yang boleh diperjualbelikan, maka Islam mengharamkannya, meskipun sewaktu itu diharamkan masih wujud keringanan yang membolehkannya lantaran ada alasan-alasan yang jelas.
Al-Nawawi berkata: “Pengharaman dan pembolehan nikah mut’ah terjadi sebanyak dua kali. Pertama, nikah ini dibolehkan sebelum Perang Khaibar, kemudian diharamkan pada waktu Perang Khaibar. Kedua, kemudian dibolehkan semula pada tahun penaklukkan kota Makkah, kemudian diharamkan untuk selama-lamanya sampai hari kiamat.”
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir mengatakan, “Imam Syafi’i dan sekelompok ulama berpendapat bahwa nikah mut’ah dibolehkan kemudian dimansukhkan kemudian dibolehkan kemudian dimansukhkan, dua kali.” [5]
Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaanya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman bagi wanita-wanita merdeka bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [an Nisa`: 25].
Dalam ayat ini ada dua alasan. Pertama, jika nikah mut'ah diperbolehkan, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak melakukannya bagi orang yang kesulitan menjaga diri atau keperluan untuk menikahi budak atau bersabar untuk tidak menikah. Kedua, ayat ini merupakan larangan terhadap nikah mut'ah, karena Allah S.W.T berfirman "karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka". Sebagaimana diketahui, bahwa nikah seizin orang tua atau wali, itulah sebenarnya nikah yang disyariatkan, yaitu dengan wali dan dua orang saksi. Adapun nikah mut'ah, tidak mensyariatkan demikian.[6]
Dan dampak negatif dari nikah mut’ah ini seperti yang banyak didapati kasusnya adalah beredarnya penyakit kelamin semacam spilis, raja singa dan sejenisnya di kalangan mereka yang menghalalkannya. Karena pada hakikatnya nikah mu’tah itu memang zina.
F.      NIKAH MUT’AH MENURUT HUKUM INDONESIA
Menurut UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan nikah mut’ah sangat bertentangan dan tidak sah menurut hukum di Indonesia, karena dilihat dari tata cara dan tujuan perkawinan serta tujuan nikah mut’ah ini bertentangan dengan aturan perundang-undangan tentang perkawinan Islam di Indonesia.
Selain berlawanan dengan ajaran agama Islam, praktik nikah mut’ah juga berlawanan dengan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Perkawinan dalam UU tersebut bersifat abadi, sedang nikah mut’ah hanya bersifat sementara.
Dalam Pasal 1 undang-undang itu disebutkan:
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), tepatnya pada Pasal 2 dan 3 dijelaskan:
“Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat “mitsaqan ghalidhan” untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”
“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.”
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah tersebut bertentangan dengan banyak hal, di antaranya:
1.      Bertengan dengan dalil al-Qur’an serta as-Sunnah.
2.      Bertentangan dengan ijma’ para ulama yang berpendapat tentang keharaman nikah mut’ah.
3.      Bertentangan dengan Pancasila, terutama Sila I, Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Sila II, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
4.      Bertentangan dengan UUD 1945, Pasal 29 ayat (1).
5.      Bertentangan dengan UU No. 1/1974, tentang perkawinan, Pasal 1.
6.      Bertentangan dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang didinstruksikan oleH pemerintah untuk dilaksanakan (instruksi No. 1 Th. 1991 tanggal 10 Juni 1991).
7.      Dari segi sosial dan moral, bertentangan dengan ajaran untuk menjaga kelangsungan perkawinan serta kehormatan keluarga.
Berdasarkan hal di atas, sangat jelas apabila nikah mut’ah bertentangan dengan hukum Islam maupun hukum di Indonesia. Oleh sebab itu kita sebagai umat Islam seharusnya menghindari serta mencegah terjadinya nikah mut’ah ini yang sering kali hanya bertujuan memuaskan nafsu belaka. Serta pemerintah sebagai pelindung rakyat seharusnya mensosialisasikan bahwa nikah mut’ah ini bertentangan dengan hukum di Indonesia serta memberi sanksi bagi tegas bagi yang melanggarnya .



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Nikah mut’ah merupakan nikah mempunyai dibatas waktu yang biasanya dilakukan untuk memenuhi hasrat nafsu.  Nikah mut’ah hukumnya haram menurut Al-Qur’an dan Hadist, walaupun sebelumnya pernah diperbolehkan Rasulullah, akan tetapi dilarang hingga hari kiamat.Bila ditijau dari hukum positif Indonesia pun, nikah mut’ah tidak sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia



DAFTAR PUSTAKA

Tafsir Khazin (Lubab al-Ta’wiil)
Athu al-Baari.19,200, Ktaabun- Nikah, bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada akhirnya).
Armen Halim Naro, Nikah Mut’ah (Nikah Kontrak), 2006.
Subulus Salam, ash Shan'ani, Darul Kutub Ilmiyah (3/243).
Tafsir Ibnu Katsir.1,484, pada tafsir ayat 24 surah al-Nisaa’
Jami' Ahkamil Qur`an, al Qurthubi (5/130).
http://Nikah-Mut'ah-(Kawin Kontrak)-almanhaj.or.id.htm
http://mkitasolo.blogspot.com/2011/12/tafsir-surat-nisa-4-ayat-24.html



[1] Tafsir Khazin (Lubab al-Ta’wiil).1,506
[2] athu al-Baari.19,200, Ktaabun- Nikah, bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada akhirnya).
[3] Armen Halim Naro, Nikah Mut’ah (Nikah Kontrak), 2006, hlm: 2
[4] Subulus Salam, ash Shan'ani, Darul Kutub Ilmiyah (3/243).
[5] Tafsir Ibnu Katsir.1,484, pada tafsir ayat 24 surah al-Nisaa’.
[6] Jami' Ahkamil Qur`an, al Qurthubi (5/130).

1 comment: