21 March 2015

SUBJEK DAN OBJEK HUKUM ISLAM

SUBJEK DAN OBJEK  HUKUM ISLAM



BAB  I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Berbicara masalah hukum otomatis kita akan berbicara masalah kehiduan manusia.Hukum tidak pernah ada tanpa kehadiran manusia sebagai khalifah Allah Swt di dunia. Atau dengan kata lain, manusialah yang menjadi penyebab utama diciptakannya hukum (peraturan) secara umum
Ketika penciptaan manusia pertama kalinya, saat itu pula Allah Swt Mengatakan serangkaianperaturan yang harus dipedomi, dan konsekuensi dari kepatuhan atau pelanggaran terhadap ketentuan tersebut juga telah jelas. Hal ini dapat dilihat pada ketetapan Allah SWT kepada malaikat sebagai hamba ynang taat, yang imbalannya adalah surga. Sebaliknya, iblis yang melanggar aturan, imbalannya adalah neraka. Selain itu, ini dapat dilihat pada sebab dipindahkannya manusia dari kehidupan di surga ke kehidupan di dunia.
Karena di bumi manusia hidup ecara individual dan bermasyarakat yang tentunya akan terjadi interaksi sosial dan terkadang konflik antar sesama dalam mencapai tujuan, maka perlu ada tata aturan yang mengatur kehidupan mereka sehingga apa yang menjadi tujuan dari kehidupan dapat tercapai dengan baik.
Dalam kaitannya dengan hukum (aturan), dapat dikatakan bahwa manusia merupakan pelaku utama atau dikenal sebagai “subyek hukum” yang dalam hukum islam disebut al-mahkum ‘alayh (mukallaf) Subyek hukum dalam studi hukum Islam ini menempati posisi yang sangat penting dan mendasar, karena penerapan suatu hukum sangat tergantung pada faktor situasi dan kondisi subyek hukum atau pelaku perbuatan yang berefek hukum
B.      RUMUSAN MASALAH
·         Jelaskan pengertian mukallaf dan syarat-syaratnya?
·         Jeaskan penghalang-penghalang kecakapan hukum?
·         Jelaskan pengertian mahkumfih ( objek hukum ) dan Syarat-syaratnya?

C.     TUJUAN
·         Mengetahui pengertian mukallaf dan syarat-syaratnya
·         Mengetahui penghalang-penghalang kecakapan hukum
·         Mengeahui pengertian mahkumfih ( objek hukum ) dan Syarat-syaratnya



BAB II
Pembahasan

A.PENGERTIAN MUKALLAF DAN SYARAT-SYARATNYA
mukallah yaitu yang dibebani untuk mengetahui secara akal apa yang wajib bagi Allah dan rosulnya, apa yang mustahil dan yang boleh bagi-Nya. Dan siapa saja yang menjadi mukalaf? Yaitu manusia dan jin, dan apakah malaikat juga mukallaf? Menurut ahli sunnah bahwa malaikat bukan mukallaf. Sedangkan sebagian ulama’ berpendapat bahwa malaikat juga termasuk mukallaf, yaitu dibebani untuk ma’rifatullah. Syarat seseorang menjadi mukallaf menurut ahli sunnah :
1. Baligh
2. Berakal
3. Sampai padanya dakwah
1. Baligh
Hal iniberlaku untuk manusia, sedangkan jin hanya Allah yang tahu, karena masuk dalam hal yang ghaib. Secara hukum manusia yang baligh baru bisa disebut sebagai mukallaf. Menurut Maturidi dan Hanafiyah : bahwa bayi jaga termasuk mukallaf, dengan alasan bahwa bayi yang kafir maka bukanlah dari golongan yang nijihin. Namun yang benar bahwa bayi bukanlah mukallaf. Dengan dalil sabda rosullullah SAW. Akan di hapus kesalahan pada tiga orang diantaranya bayi hingga baligh. Maka anak anaknyanya orang kafir juga termasuk najihin.
2. Berakal
Yaitu kemampuan untuk membedakan dua perbedaan, seperti bisa membedakan perbuatan yang benar dan yang salah. Dan barang siapa yang hilang akal dari bayi, atau hilang akal sebelum baligh maka hukumnya bukanlah mukallaf. Numun bila hilang akalnya setelah baligh, maka hukumnya berlaku sebelum ia hilang akal. Bila sebelum hilangnnya akal ia beriman maka terbilang sebagai orang mukmin, atau sebaliknya.


3. Sampainya dakwah
Salah satu syarat mukalaf bagi ahli sunnah adalah sampainya dakwah pada mukallaf. Yaitu adanya utusan untuk menyampaikan syariat shahih. Sebagaimana nabi Isa AS ketika diutus kepada bani isroil, maka bangsa arab pada saat itu bukanlah mukallaf, karena bolum sampainnya syariat shahih kepada bangsa arab. Dan bangsa arab sebelum diutusnya nabi Muhammad, maka termasuk ahlul fatroh dan mereka termasuk golongan najihin. Dan ahlul fatroh terhenti setelah diutusnya nabi Muhammad SAW, dan risalahnya berlaku untuk seluruh manusia dan jin. Dengan dalil firman Allah SAW yang berbunyi:
وماكنامعذبينحتىنبعثرسولا
Artinya:
tidaklah kami mengazab suatu kaum hingga kami mengutus seorang rosul (QS. Al-Isro’ 15), Dan ini adalah dalil menurut ahli sunnah.
Namun menurut Mu’tazilah : bahwa seorang yang baligh dan berakal adalah mukallf walaupun belum sampai dakwah kepadanya, karena akal mampu untuk menemukan iman itu sendiri, dan akal juga mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk, dan syariat itu datang untuk menguatklan apa yang ada dalam akal. Dan bagi ahli sunnah tetap mukallaf adalah seseorang yang baligh, berakal dan sampai padanya dakwah. Dan baik buruknya sesuatu dapat diketahui melalui syariat terlebih dahulu. Maka seorang yang mukallaf maka wajib mengetahui sifat wajib bagi Allah dan rosulNya, sifat mustahil dan sifat yang boleh bagiNya. Dan mengetahui hukum syariat yang dibebankan padanya mencakup hal yang wajib, sunnah, haram dan makruh.
Pembagian hukum akal
Yaitu apa yang wajib, jaiz dan mustahil secara akal, baik itu secara dharori atau nadhori . Dhoruri adalah adanya kemampuan akal untuk memahaminya secara langsung, tanpa mempertimbangkannya dan mencari kebenarannya. Adapun nadhori yaitu sesuatu yang tidak langsung dapat ditangkap oleh akal untuk memahaminya, namun harus memikirkannya dan mencari bukti akan kebenarannya.


1. Wajibul aqli : apa-apa yang tidak tergambar dalam akal akan ketiadannya. Secara dhoruri seperti manusia yang butuh makan dan minum, tanpa adanya penelusuran maka hukumnya sudah pasti manusia membutuhkan makanan. Secara nadhori seperti tuhan itu satu, tentu setiap orang akan berfikir, apa benar tuhan itu satu? Dan ternyata memang alam tidak aka nada bila tuhan itu dua atau tiga, karena tuhan dalah maha kuasa akan segala sesuatu, bila tuhan dua maka tuhan lemah karena harus berdua untuk mengadakan alam inni, atau untuk mengurus alam ini. Dan inimustahil bagi Allah untuk menjadi dua atau tiga, dan bila tuhan itu lebih dari satu, maka ala mini tidak akan ada.
2. Mustahilul aqli : apa-apa yang tidak tergambar dalam akal akan wujudnya. Secara dhoruri seperti tangan tidak mungkin bergerak dan diam secara bersamaan. Tentu akan menjalankan satu aktifitas, mau diam atau bergerak dan mustahil akan bersama-sama bergerak dan diam pada satu tangan. Secara nadhori seperti adanya tuhan selain Allah, namun memerlukan pengkajian apakah memang tidak ada tuhan selain Allah, dan bila ada tuhan selain Allah maka akan ada banyak tuhan, bila tuhan itu banyak maka namanya bukan tuhan, dan ini mustahil.
3. Jaizul aqli : apa yang tergambar oleh akal akan adanya atau ketiadaannya. Secara dhoruri boleh akal tangan ini bergerak ataupun boleh untuk diam, dan ini boleh untuk memilih salah satu, diam atau bergerak. Secara nadhori seperti boleh bagi Allah mengazab orang yang taat beragama, dan boleh saja bagi Allah member pahala bagi ahli ma’siat. Namun hal ini tidak sejalan dengan akal dan mustahil akan adanya, maka perlu untuk ditelusuri terlebih dahulu.
Adapun tujuannya yaitu agar setiap mukallaf mengetahui apa-apa yang wajjib, mustahil dan jaiz secara akal bagi Allah dan rosulNya walaupun dengan dalil yang sederhana. Sehingga tidak taqlid secara buta akan ma’rifah kepada Allah. Maka dapat kita simpulkan bahwa salah satu syarat iman adalah ma’rifah.


B.PENGHALANG-PENGHALANG KECAKAPAN HUKUM
Menurut pasal 2 KUH. Perdata manusia menjadi pendukung hak dan kewajiban dalam hukum dari sejak lahir sampai meninggal. Tetapi Undang-undang menentukan tidak semua orang sebagai pendukung hukum (recht) adalah cakap (bekwaan)untuk melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya. Cakap (Bekwaan) adalah Kriteria umum yang dihubungkan dengan keadaan diri seseorang, Berwenang (bevoegd) merupakan kriteria khusus yang dihubungkan dengan suatu perbuatan atau tindakan tertentu. Seorang yang cakap belum tentu berwenang, tapi seorang yang berwenang sudah pasti cakap. Pasal 1330 KUH Perdata menentukan orang yang tidak cakap membuat persetujuan yaitu :
 1. Orang-orang yang belum dewasa.
 2. Orang-orang yang berada dibawah pengampuan.
 3. Perempuan yang bersuami.
Anak yang belum dewasa dapat melakukan tindakan hukum dengan bantuan orang tua/walinya, orang yang berada dibawah pengampuan diwakii oleh pengampunya.(curator) sedangkan istri dengan bantuan suaminya.
KECAKAPAN BERBUAT HUKUM (handelings bekwaanheid) dan KEWENANGAN BERTINDAK MENURUT HUKUM (rechts bevoegdheid). Undang-undang menentukam bahwa untuk dapat bertindak dalam hukum,seseorang harus telah cakap dan berwenang. Seseorang dapat dikatakan telah cakap dan berwenang,harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang yaitu telah dewasa,sehat pikirannya(tidak dibawah pengampuan)serta tidak bersuami bagi wanita. Menurut Pasal 330 KUH.Perdata seorang telah dewasa apabila telah berumur 21 tahun, dan telah kawin sebelum mencapai umur tersebut. Mengenai kedudukan seorang istri,sejak keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963,tanggal 5 September 1963 yang mencabut beberapa pasal KUH.Perdata diantaranya pasal 108 dan 110 KUH.Perdata maka status sebagai istri tidak lagi mempunyai pengaruh terhadap kecakapanbertindak yang dilakukannya. Dengan kata lain sejak dicabutnya pasal 108 dan 110 KUH.Perdata oleh Surat Edaran Mahkamah Agung diatas, maka istri adalah cakap bertindak dalam hukum. Disamping-undang-undang juga telah menentukan bahwa walupun tidak memenuhi syarat-syarat diatas,seorang dingagap cakap dan berwenang melakukan perbuatan hukum terterntu. Kecakapan berbuat(handelings bekwaamheid) dan kewenangan bertindak menurut hukum ini (recht bevoegdheid) adalah dibenarkan dalam ketentuan undang-undang itu sediri, yaitu :
  1. Seorang anak yang belum dewasa (belum mencapai umur 21 tahun) dapat melakukan seluruh perbuatan hukum apabila telah berusia 20 tahun dan telah mendapat surat pernyataan Dewasa (venia aetatis) yang diberikan oleh Presiden, setelah mendengar nasihat Mahkamah Agung.(pasal 419 dan 420 KUH. Perdata).
  2. Anak yang berumur 18 tahun dapat melakukan perbuatan hukum tertentu setelah mendapatSurat Pernyataan Dewasa dari Pengadilan.(pasal 426 KUH Perdata).
  3. Seorang yang belum berumur 18 tahun dapat membuat surat wasiat. (pasal 897 KUH.Perdata).
  4. Orang laki-laki yang telah mencapai umur 18 tahun dan perempuan yang telah berumur 15 tahun dapat melakukan perkawinan.(pasal 29 KUH.Perdata).
  5. Pengakuan anak dapat dilakukan oleh orang yang telah berumur 19 tahun. (pasal 282 KUH.Perdata).
  6. Anak yang telah berusia 15 tahun telah dapat menjadi saksi.(pasal 1912 KUH.Perdata).
  7. Seorang yang ditaruh dibawah pengampuan karena boros dapat :
·         Membuat surat wasiat (pasal 446 KUH.Perdata).
·         Melakukan perkawinan (pasal 452 KUH.Perdata).
·         Istri cakap bertindak dalam hukum dalam hal :
v    dituntut dalam perkara pidana,
v   menuntut perceraian perkawinan,
v   pemisahan meja dan ranjang serta
v   menuntut pemisahan harta kekayaan. (pasal 111 KUH.Perdata).
v  membuat surat wasiat. (pasal 118 KUH.Perdata).
CAKAP TAPI TIDAK BERWENANG.
Seorang yang telah cakap menurut hukum mempunyai wewenang bertindak dalam hukum.tetapi disamping itu Undang-undang menentukan beberapa perbuatan yang tidak berwenang dilakukan oleh orang cakap tertentu.
1. Tidak boleh mengadakan jual beli antara suami istri (pasal1467 KUH.Perdata). disini suami adalah cakap,tapi tidak berwenang menjual apa saja kepada istrinya.
2. Larangan kepada Pejabat Umum (Hakim, Jaksa, Panitera, Advocat, Juru Sita, Notaris) untuk menjadi pemilik karena penyerahan hak-hak, tuntutan - tuntutan yang sedang dalam perkara. (pasal1468).
3. Apabila seorang hakim terikat hubungan keluarga sedarah dengan ketua,seorang hakim anggota,jaksa, penasihat hukum, panitera, dalam suatu perkara tertentu ia wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara itu, begitu pula ketua, hakim anggota, jaksa, panitera, terikat hubungan keluarga dengan yang diadili, ia wajib mengundurkan diri. (pasal 28 UU.no.14/1970).
C.PENGERTIAN MAHKUMFIH( OBJEK HUKUM ) DAN SYARAT-SYARATNYA
Menurut Usuliyyin,yang dimaksud dengan Mahkum fih adalah obyek hukum,yaitu perbuatan seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah syari’(Alloh dan Rosul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan. Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu hukum:
Contoh:
1.Firman Alloh dalam surat al baqoroh:43
و اقيمو االصلاةالبقرة
Artinya:”Dirikanlah Sholat
Ayat ini menunjukkan perbuatan seorang mukallaf,yakni tuntutan mengerjakan sholat,atau kewajiban mendirikan sholat.
2.Firman Alloh dalam surat al an’am:151
ولاتقتلواالنفس االتي حر م االله الا باالحق) الانعا م
Artinya:”Jangan kamu membunuh jiwa yang telah di haramkan oleh Alloh melainkan dengan sesuatu (sebab)yang benar”
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan mukallaf,yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak itu hukumnya haram.
3.Firman Alloh dalam surat Al-maidah:5-6
اذاقمتم الى الصلاة فا غسلوا وجو هكو و ايد يكم الى المرا فق الما ئد ه 5-6
Artinya:”Apabila kamu hendak melakukan sholat,maka basuhlah mukamu dan tangan mu sampai siku siku”
Dari Ayat diatas dapat diketahui bahwa wudlu merupakan salah satu perbuatan orang mukallaf,yaitu salah satu syarat sahnya sholat.
Dengan beberapa contoh diatas, dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf.


B.Syarat–syarat mahkum fih
a.Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan di lakukan.sehingga tujuan dapat tangkap dengan jelas dan dapat dilaksanakan.Maka seorang mukallaf tidak tidak terkena tuntutan untukk melaksanakan sebelum dia tau persis.
Contoh:Dalam Al qur’an perintah Sholat yaitu dalam ayat “Dirikan Sholat” perintah tersebut masih global,Maka Rosululloh menjelaskannya sekaligus memberi contoh sabagaimana sabdanya ”sholatlah sebagaimana aku sholat” begitu pula perintah perintah syara’ yang lain seperti zakat,puasa dan sebagainya.tuntutan untuk melaksanakannya di anggap tidak sah sebelum di ketahui syarat,rukun,waktu dan sebagainya.
b. .Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. seseorang harus mengetahui  bahwa tuntutan itu dari Allah SWT.Sehingga ia melaksanakan berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan perintah Allah semata.berarti tidak ada keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya suatu peraturan yang jelas.hal ini untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaan sesuai tuntutan syara’.
c. Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan,berkait dengan hal ini terdapat dengan beberapa syarat yaitu:
1. tidak syah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau di tinggalkan.
2. tidak syah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas nama orang lain.
3. tidak sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia.
4. tercapaianya syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah ibadah,suci dalam masalah sholat.


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Semua perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara` dinamakan dengan Mahkum Fiih. Akan tetapi ada beberapa syarat tertentu agar perbuatannya dapat dijadikan objek hukum. Dalam mengerjakan tuntutan tersebut tentu mukallaf mengalami kesulitan-kesulitan (masyaqqah).Ada yang mampu diatasi manusia seperti: sholat, puasa dan haji. Meskipun pekerjaan ini terasa berat, tapi masih bisa dilakukan oleh mukallaf.Ada kesulitan yang tidak wajar yang munusia tidak sanggup melakukannya seperti puasa terus menerus dan mewajibkan untuk bangun malam, atau suatu pekerjaan sangat berat seperti perang fi- sabilillah, karena hal ini memerlukan pengorbanan jiwa, harta dan sebagainya.Mukallaf yang telah mampu mengetahui khitob syar’i(tuntutan syara’) maka sudah di kenakan taklif. Semoga bermanfaat. wallohu a’lam bissowab.


DAFTAR PUSTAKA

Koto, Alaiddin. 2006. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia: Bandung
Sutrisno. 1999. Ushul Fiqh. STAIN Press. Jember
Syukur, Asywaedie. 1990. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. PT. Bina Ilmu: Surabaya



No comments:

Post a Comment