SUBJEK DAN OBJEK HUKUM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Berbicara masalah hukum otomatis kita
akan berbicara masalah kehiduan manusia.Hukum tidak pernah ada tanpa kehadiran
manusia sebagai khalifah Allah Swt di dunia. Atau dengan kata lain, manusialah
yang menjadi penyebab utama diciptakannya hukum (peraturan) secara umum
Ketika penciptaan manusia pertama
kalinya, saat itu pula Allah Swt Mengatakan serangkaianperaturan yang harus
dipedomi, dan konsekuensi dari kepatuhan atau pelanggaran terhadap ketentuan
tersebut juga telah jelas. Hal ini dapat dilihat pada ketetapan Allah SWT
kepada malaikat sebagai hamba ynang taat, yang imbalannya adalah surga.
Sebaliknya, iblis yang melanggar aturan, imbalannya adalah neraka. Selain itu,
ini dapat dilihat pada sebab dipindahkannya manusia dari kehidupan di surga ke
kehidupan di dunia.
Karena di bumi manusia hidup ecara
individual dan bermasyarakat yang tentunya akan terjadi interaksi sosial dan
terkadang konflik antar sesama dalam mencapai tujuan, maka perlu ada tata
aturan yang mengatur kehidupan mereka sehingga apa yang menjadi tujuan dari
kehidupan dapat tercapai dengan baik.
Dalam kaitannya dengan hukum (aturan),
dapat dikatakan bahwa manusia merupakan pelaku utama atau dikenal sebagai
“subyek hukum” yang dalam hukum islam disebut al-mahkum ‘alayh (mukallaf)
Subyek hukum dalam studi hukum Islam ini menempati posisi yang sangat penting
dan mendasar, karena penerapan suatu hukum sangat tergantung pada faktor
situasi dan kondisi subyek hukum atau pelaku perbuatan yang berefek hukum
B.
RUMUSAN MASALAH
·
Jelaskan pengertian mukallaf dan syarat-syaratnya?
·
Jeaskan penghalang-penghalang kecakapan hukum?
·
Jelaskan pengertian mahkumfih ( objek hukum ) dan Syarat-syaratnya?
C.
TUJUAN
·
Mengetahui pengertian mukallaf dan syarat-syaratnya
·
Mengetahui
penghalang-penghalang kecakapan hukum
·
Mengeahui
pengertian mahkumfih ( objek hukum ) dan Syarat-syaratnya
BAB
II
Pembahasan
A.PENGERTIAN
MUKALLAF DAN SYARAT-SYARATNYA
mukallah yaitu yang
dibebani untuk mengetahui secara akal apa yang wajib bagi Allah dan rosulnya,
apa yang mustahil dan yang boleh bagi-Nya. Dan siapa saja yang menjadi mukalaf?
Yaitu manusia dan jin, dan apakah malaikat juga mukallaf? Menurut ahli sunnah
bahwa malaikat bukan mukallaf. Sedangkan sebagian ulama’ berpendapat bahwa
malaikat juga termasuk mukallaf, yaitu dibebani untuk ma’rifatullah. Syarat
seseorang menjadi mukallaf menurut ahli sunnah :
1.
Baligh
2.
Berakal
3.
Sampai padanya dakwah
1. Baligh
Hal iniberlaku untuk
manusia, sedangkan jin hanya Allah yang tahu, karena masuk dalam hal yang
ghaib. Secara hukum manusia yang baligh baru bisa disebut sebagai mukallaf.
Menurut Maturidi dan Hanafiyah : bahwa bayi jaga termasuk mukallaf, dengan
alasan bahwa bayi yang kafir maka bukanlah dari golongan yang nijihin. Namun
yang benar bahwa bayi bukanlah mukallaf. Dengan dalil sabda rosullullah SAW.
Akan di hapus kesalahan pada tiga orang diantaranya bayi hingga baligh. Maka
anak anaknyanya orang kafir juga termasuk najihin.
2. Berakal
Yaitu kemampuan untuk
membedakan dua perbedaan, seperti bisa membedakan perbuatan yang benar dan yang
salah. Dan barang siapa yang hilang akal dari bayi, atau hilang akal sebelum
baligh maka hukumnya bukanlah mukallaf. Numun bila hilang akalnya setelah
baligh, maka hukumnya berlaku sebelum ia hilang akal. Bila sebelum hilangnnya
akal ia beriman maka terbilang sebagai orang mukmin, atau sebaliknya.
3. Sampainya dakwah
Salah
satu syarat mukalaf bagi ahli sunnah adalah sampainya dakwah pada mukallaf.
Yaitu adanya utusan untuk menyampaikan syariat shahih. Sebagaimana nabi Isa AS
ketika diutus kepada bani isroil, maka bangsa arab pada saat itu bukanlah
mukallaf, karena bolum sampainnya syariat shahih kepada bangsa arab. Dan bangsa
arab sebelum diutusnya nabi Muhammad, maka termasuk ahlul fatroh dan mereka
termasuk golongan najihin. Dan ahlul fatroh terhenti setelah diutusnya nabi
Muhammad SAW, dan risalahnya berlaku untuk seluruh manusia dan jin. Dengan
dalil firman Allah SAW yang berbunyi:
وماكنامعذبينحتىنبعثرسولا
Artinya:
tidaklah
kami mengazab suatu kaum hingga kami mengutus seorang rosul (QS. Al-Isro’ 15),
Dan ini adalah dalil menurut ahli sunnah.
Namun menurut
Mu’tazilah : bahwa seorang yang baligh dan berakal adalah mukallf walaupun
belum sampai dakwah kepadanya, karena akal mampu untuk menemukan iman itu sendiri,
dan akal juga mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk, dan syariat itu
datang untuk menguatklan apa yang ada dalam akal. Dan bagi ahli sunnah tetap
mukallaf adalah seseorang yang baligh, berakal dan sampai padanya dakwah. Dan
baik buruknya sesuatu dapat diketahui melalui syariat terlebih dahulu. Maka
seorang yang mukallaf maka wajib mengetahui sifat wajib bagi Allah dan
rosulNya, sifat mustahil dan sifat yang boleh bagiNya. Dan mengetahui hukum
syariat yang dibebankan padanya mencakup hal yang wajib, sunnah, haram dan
makruh.
Pembagian hukum akal
Yaitu apa yang wajib,
jaiz dan mustahil secara akal, baik itu secara dharori atau nadhori . Dhoruri
adalah adanya kemampuan akal untuk memahaminya secara langsung, tanpa
mempertimbangkannya dan mencari kebenarannya. Adapun nadhori yaitu sesuatu yang
tidak langsung dapat ditangkap oleh akal untuk memahaminya, namun harus
memikirkannya dan mencari bukti akan kebenarannya.
1.
Wajibul aqli : apa-apa yang tidak tergambar dalam akal akan ketiadannya. Secara
dhoruri seperti manusia yang butuh makan dan minum, tanpa adanya penelusuran
maka hukumnya sudah pasti manusia membutuhkan makanan. Secara nadhori seperti
tuhan itu satu, tentu setiap orang akan berfikir, apa benar tuhan itu satu? Dan
ternyata memang alam tidak aka nada bila tuhan itu dua atau tiga, karena tuhan
dalah maha kuasa akan segala sesuatu, bila tuhan dua maka tuhan lemah karena
harus berdua untuk mengadakan alam inni, atau untuk mengurus alam ini. Dan
inimustahil bagi Allah untuk menjadi dua atau tiga, dan bila tuhan itu lebih
dari satu, maka ala mini tidak akan ada.
2.
Mustahilul aqli : apa-apa yang tidak tergambar dalam akal akan wujudnya. Secara
dhoruri seperti tangan tidak mungkin bergerak dan diam secara bersamaan. Tentu
akan menjalankan satu aktifitas, mau diam atau bergerak dan mustahil akan
bersama-sama bergerak dan diam pada satu tangan. Secara nadhori seperti adanya
tuhan selain Allah, namun memerlukan pengkajian apakah memang tidak ada tuhan
selain Allah, dan bila ada tuhan selain Allah maka akan ada banyak tuhan, bila
tuhan itu banyak maka namanya bukan tuhan, dan ini mustahil.
3.
Jaizul aqli : apa yang tergambar oleh akal akan adanya atau ketiadaannya.
Secara dhoruri boleh akal tangan ini bergerak ataupun boleh untuk diam, dan ini
boleh untuk memilih salah satu, diam atau bergerak. Secara nadhori seperti
boleh bagi Allah mengazab orang yang taat beragama, dan boleh saja bagi Allah
member pahala bagi ahli ma’siat. Namun hal ini tidak sejalan dengan akal dan
mustahil akan adanya, maka perlu untuk ditelusuri terlebih dahulu.
Adapun tujuannya
yaitu agar setiap mukallaf mengetahui apa-apa yang wajjib, mustahil dan jaiz
secara akal bagi Allah dan rosulNya walaupun dengan dalil yang sederhana.
Sehingga tidak taqlid secara buta akan ma’rifah kepada Allah. Maka dapat kita
simpulkan bahwa salah satu syarat iman adalah ma’rifah.
Menurut pasal 2 KUH. Perdata manusia menjadi pendukung hak dan kewajiban
dalam hukum dari sejak lahir sampai meninggal. Tetapi Undang-undang menentukan
tidak semua orang sebagai pendukung hukum (recht) adalah cakap (bekwaan)untuk
melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya. Cakap (Bekwaan) adalah Kriteria umum
yang dihubungkan dengan keadaan diri seseorang, Berwenang (bevoegd) merupakan kriteria
khusus yang dihubungkan dengan suatu perbuatan atau tindakan tertentu. Seorang
yang cakap belum tentu berwenang, tapi seorang yang berwenang sudah pasti
cakap. Pasal 1330 KUH Perdata menentukan orang yang tidak cakap membuat
persetujuan yaitu :
1. Orang-orang yang belum dewasa.
2. Orang-orang yang berada dibawah pengampuan.
3. Perempuan yang bersuami.
Anak yang belum dewasa dapat melakukan tindakan hukum dengan bantuan orang
tua/walinya, orang yang berada dibawah pengampuan diwakii oleh pengampunya.(curator)
sedangkan istri dengan bantuan suaminya.
KECAKAPAN BERBUAT HUKUM (handelings bekwaanheid) dan KEWENANGAN BERTINDAK
MENURUT HUKUM (rechts bevoegdheid). Undang-undang menentukam bahwa untuk dapat
bertindak dalam hukum,seseorang harus telah cakap dan berwenang. Seseorang
dapat dikatakan telah cakap dan berwenang,harus memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan oleh Undang-undang yaitu telah dewasa,sehat pikirannya(tidak dibawah
pengampuan)serta tidak bersuami bagi wanita. Menurut Pasal 330 KUH.Perdata
seorang telah dewasa apabila telah berumur 21 tahun, dan telah kawin sebelum
mencapai umur tersebut. Mengenai kedudukan seorang istri,sejak keluarnya Surat
Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963,tanggal 5 September 1963 yang mencabut
beberapa pasal KUH.Perdata diantaranya pasal 108 dan 110 KUH.Perdata maka
status sebagai istri tidak lagi mempunyai pengaruh terhadap kecakapanbertindak
yang dilakukannya. Dengan kata lain sejak dicabutnya pasal 108 dan 110
KUH.Perdata oleh Surat Edaran Mahkamah Agung diatas, maka istri adalah cakap bertindak
dalam hukum. Disamping-undang-undang juga telah menentukan bahwa walupun tidak
memenuhi syarat-syarat diatas,seorang dingagap cakap dan berwenang melakukan
perbuatan hukum terterntu. Kecakapan berbuat(handelings bekwaamheid) dan
kewenangan bertindak menurut hukum ini (recht bevoegdheid) adalah dibenarkan
dalam ketentuan undang-undang itu sediri, yaitu :
- Seorang anak yang belum dewasa (belum mencapai umur 21 tahun) dapat
melakukan seluruh perbuatan hukum apabila telah berusia 20 tahun dan telah
mendapat surat pernyataan Dewasa (venia aetatis) yang diberikan oleh
Presiden, setelah mendengar nasihat Mahkamah Agung.(pasal 419 dan 420 KUH.
Perdata).
- Anak yang berumur 18 tahun dapat melakukan perbuatan hukum tertentu
setelah mendapatSurat Pernyataan Dewasa dari Pengadilan.(pasal 426 KUH
Perdata).
- Seorang yang belum berumur 18 tahun dapat membuat surat wasiat. (pasal
897 KUH.Perdata).
- Orang laki-laki yang telah mencapai umur 18 tahun dan perempuan yang
telah berumur 15 tahun dapat melakukan perkawinan.(pasal 29 KUH.Perdata).
- Pengakuan anak dapat dilakukan oleh orang yang telah berumur 19 tahun.
(pasal 282 KUH.Perdata).
- Anak yang telah berusia 15 tahun telah dapat menjadi saksi.(pasal 1912
KUH.Perdata).
- Seorang yang ditaruh dibawah pengampuan karena boros dapat :
·
Membuat surat wasiat (pasal 446 KUH.Perdata).
·
Melakukan perkawinan (pasal 452 KUH.Perdata).
·
Istri cakap bertindak dalam hukum dalam hal :
v
dituntut dalam perkara pidana,
v
menuntut perceraian perkawinan,
v
pemisahan meja dan ranjang serta
v
menuntut pemisahan harta kekayaan. (pasal 111 KUH.Perdata).
v membuat surat wasiat. (pasal 118 KUH.Perdata).
CAKAP TAPI TIDAK
BERWENANG.
Seorang yang telah cakap menurut hukum mempunyai wewenang bertindak dalam
hukum.tetapi disamping itu Undang-undang menentukan beberapa perbuatan yang
tidak berwenang dilakukan oleh orang cakap tertentu.
1. Tidak boleh
mengadakan jual beli antara suami istri (pasal1467 KUH.Perdata). disini suami
adalah cakap,tapi tidak berwenang menjual apa saja kepada istrinya.
2. Larangan
kepada Pejabat Umum (Hakim, Jaksa, Panitera, Advocat, Juru Sita, Notaris) untuk
menjadi pemilik karena penyerahan hak-hak, tuntutan - tuntutan yang sedang
dalam perkara. (pasal1468).
3. Apabila
seorang hakim terikat hubungan keluarga sedarah dengan ketua,seorang hakim
anggota,jaksa, penasihat hukum, panitera, dalam suatu perkara tertentu ia wajib
mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara itu, begitu pula ketua, hakim
anggota, jaksa, panitera, terikat hubungan keluarga dengan yang diadili, ia wajib
mengundurkan diri. (pasal 28 UU.no.14/1970).
C.PENGERTIAN MAHKUMFIH( OBJEK HUKUM
) DAN SYARAT-SYARATNYA
Menurut
Usuliyyin,yang dimaksud dengan Mahkum fih adalah obyek hukum,yaitu perbuatan
seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah syari’(Alloh dan Rosul-Nya),
baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan
memilih suatu pekerjaan. Para ulama pun sepakat bahwa seluruh perintah syari’
itu ada objeknya yaitu perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf
tersebut ditetapkannya suatu hukum:
Contoh:
1.Firman Alloh dalam surat al
baqoroh:43
و اقيمو
االصلاةالبقرة
Artinya:”Dirikanlah Sholat”
Ayat ini menunjukkan perbuatan
seorang mukallaf,yakni tuntutan mengerjakan sholat,atau kewajiban mendirikan
sholat.
2.Firman Alloh dalam surat al
an’am:151
ولاتقتلواالنفس
االتي حر م االله الا باالحق) الانعا م
Artinya:”Jangan kamu membunuh
jiwa yang telah di haramkan oleh Alloh melainkan dengan sesuatu (sebab)yang
benar”
Dalam ayat ini terkandung suatu
larangan yang terkait dengan perbuatan mukallaf,yaitu larangan melakukan
pembunuhan tanpa hak itu hukumnya haram.
3.Firman Alloh dalam surat
Al-maidah:5-6
اذاقمتم الى
الصلاة فا غسلوا وجو هكو و ايد يكم الى المرا فق الما ئد ه 5-6
Artinya:”Apabila kamu hendak
melakukan sholat,maka basuhlah mukamu dan tangan mu sampai siku siku”
Dari Ayat diatas dapat diketahui
bahwa wudlu merupakan salah satu perbuatan orang mukallaf,yaitu salah satu
syarat sahnya sholat.
Dengan beberapa contoh diatas, dapat
diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf.
B.Syarat–syarat mahkum fih
a.Mukallaf
harus mengetahui perbuatan yang akan di lakukan.sehingga tujuan dapat tangkap
dengan jelas dan dapat dilaksanakan.Maka seorang mukallaf tidak tidak terkena
tuntutan untukk melaksanakan sebelum dia tau persis.
Contoh:Dalam Al
qur’an perintah Sholat yaitu dalam ayat “Dirikan Sholat” perintah tersebut
masih global,Maka Rosululloh menjelaskannya sekaligus memberi contoh
sabagaimana sabdanya ”sholatlah sebagaimana aku sholat” begitu pula
perintah perintah syara’ yang lain seperti zakat,puasa dan sebagainya.tuntutan
untuk melaksanakannya di anggap tidak sah sebelum di ketahui syarat,rukun,waktu
dan sebagainya.
b.
.Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. seseorang harus mengetahui
bahwa tuntutan itu dari Allah SWT.Sehingga ia melaksanakan berdasarkan
ketaatan dengan tujuan melaksanakan perintah Allah semata.berarti tidak ada
keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya suatu peraturan yang
jelas.hal ini untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaan sesuai tuntutan
syara’.
c.
Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan,berkait dengan hal
ini terdapat dengan beberapa syarat yaitu:
1. tidak syah suatu
tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau di tinggalkan.
2.
tidak syah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan
atas nama orang lain.
3.
tidak sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan
dengan fitrah manusia.
4.
tercapaianya syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah ibadah,suci dalam
masalah sholat.
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Semua perbuatan
mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara` dinamakan dengan Mahkum Fiih. Akan
tetapi ada beberapa syarat tertentu agar perbuatannya dapat dijadikan objek
hukum. Dalam mengerjakan tuntutan tersebut tentu mukallaf mengalami
kesulitan-kesulitan (masyaqqah).Ada yang mampu diatasi manusia
seperti: sholat, puasa dan haji. Meskipun pekerjaan ini terasa berat, tapi
masih bisa dilakukan oleh mukallaf.Ada kesulitan yang tidak wajar yang munusia
tidak sanggup melakukannya seperti puasa terus menerus dan mewajibkan untuk
bangun malam, atau suatu pekerjaan sangat berat seperti perang fi- sabilillah,
karena hal ini memerlukan pengorbanan jiwa, harta dan sebagainya.Mukallaf yang
telah mampu mengetahui khitob syar’i(tuntutan syara’) maka sudah di kenakan
taklif. Semoga bermanfaat. wallohu a’lam bissowab.
DAFTAR PUSTAKA
Koto, Alaiddin. 2006. Ilmu Fiqih
dan Ushul Fiqih. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu
Ushul Fiqih. Pustaka Setia: Bandung
Sutrisno. 1999. Ushul Fiqh. STAIN
Press. Jember
Syukur, Asywaedie. 1990. Ilmu
Fiqih dan Ushul Fiqih. PT. Bina Ilmu: Surabaya
No comments:
Post a Comment